Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lelaki Barongan

6 Maret 2020   11:37 Diperbarui: 6 Maret 2020   11:30 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak kecil usia tiga tahun itu begitu ekspresif, semangat dan loncat-loncat kegirangan. Sampai emaknya tak kuat menahan geraknya di gendongan yang terikat oleh kain. Karena si anak ini gembira melihat karnaval di jalan. Terutama barongan atau ondel-ondel yang di matanya seolah setinggi raksasa. Anak ini takjub, ondel-ondel berbahan kayu dan kertas itu seperti hidup, dan menari-nari di dekatnya tanpa ia  merasa takut. Tidak seperti anak lain seumurnya yang menghindar, dan masuk ke ketiak emaknya.

Wajar saja demikian sebab bapaknya si anak ini juga adalah barongan. Dia pikir setiap barongan  adalah bapaknya. Tak heran kalau ada acara semacam ini, si anak memaksa emaknya untuk melihat lebih dekat.  Apalagi barongan ini setiap saat ada di muka rumahnya. Dan, bapaknya juga mencari uang mengitari jalan dengan benda ini.

Sebagai seni, bapaknya memandang barongan bisa juga membantu dapurnya ngebul. Kendati hitungan receh yang diperoleh, tapi semangat pelestariannya terhadap seni semacam ini patut dihargai. Tidak ada rasa minder atau malu tatkala ia kitari jalan-jalan di sekitar kampong ini. Karena dimaklumi saat ini benda tersebut hampir nyaris punah di Jakarta. Makanya tidak ada satu orang atau bisa dikatakan, jarang  orang yang mau menjadikan benda ini alat produksi.

Namun di tiap acara tertentu, seperti sunatan, kawinan atau ulang tahun Jakarta, dan lainnya yang terkait dengan budaya betawi ia hadir sekedar untuk melengkapi, selain seni tari Cokek, juga Tanjidor, maupun Lenong. Barongan terasa berada di pinggir, dan tidak menyatu dengan warga Jakarta yang multi etnik ini.

Karena itu si bapak ini memoles sedemikian rupa wajah barongan yang bukan lagi abstrak tapi konkrit merujuk pada wajah tokoh maupun legenda jawara betawi masa lalu. Kadang ia berwajah si Pitung, kadang si Jampang atau bahkan Sabeni dari Tanah Abang sana atau siapapun tokoh betawi masa lalu. Ia ingin tunjukkan pada dunia, Betawi merupakan entitas cultural yang masih hidup dan menggeliat dengan seni dan budayanya.

Di suatu ketika, tatkala ia kitari kampong di satu kelurahan, begitu banyak teriakan serta pertanyaan dari anak-anak yang melihatnya. Itu wajah siapa? Kok barongannya beda? Biasanya barongan seram, tapi ini tidak. Begitu yang didengarnya juga didengar oleh pengiring musik sang ondel-ondel ini. Karuan saja pertanyaan dari anak-anak itu membuatnya senang, sebab langsung atau tidak, ada rasa penasaran dan keingintahuan anak-anak itu, meski orangtuanya sudah pasti bukan warga asli etnis ini.

 Sebab ia sadar, di satu kelurahan saja tidak semua dihuni oleh asli suku ini, boleh jadi mereka anak-anak kecil yang darah asli orangtuanya adalah beraasal dari Jawa, Sunda, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Sumatera, dan lainnya.

Boleh jadi mereka tak akan peduli dengan seni dan budaya semacam ini. Atau malah diremehkan. Ia tidak menyalahkan. Ini resiko kota yang sudah dibangun sejak lampau sebagai kota dagang, dan seterusnya menjadi atau sebagai ibukota negara. Bahkan satu-satu tetangganya dulu, pergi meninggalkan tempat kelahirannya, karena tak kuasa menolak pembangunan atau terima gepokan uang. Mereka rela menjual rumah untuk mencari lahan baru yang justru jauh dari akar sejarahnya. Termasuk orang tuanya.

Hingga pada suatu sore yang agak mendung itu, ia asik memoles wajah ondel-ondel miliknya dengan koas kecil di muka rumah kontrakan yang sederhana, dan berdempetan dengan tetangga di ujung gang buntu. Gang menuju jalan rumahnya ini kondisinya berada di bawah dari jalan utama di dekat kali atau sungai yang lebarnya sekitar tiga meter. Artinya jalan gang itu menurun, juga menanjak, kalau bolak balik ke sini. Geluduk sekali-kali bunyi, diringi kilat yang menyilaukan mata. Namun tak membuatnya beranjak untuk menyelesaikan polesan  ondel-ondel bagi persiapannya untuk suatu acara nanti.

Di saat yang sama, hujan pun turun. Semakin lama semakin deras. Ia pun membenahi ondel-ondelnya untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Istrinya turut membantu, ada dua barongan, menyerupai laki dan perempuan,  yang dijajarkan di ruang tamu yang sempit itu.

Ia perkirakan sudah hitungan jam hujan terus saja mengguyur.  Dan, malam menyelimuti lingkungan tempat tinggalnya, gelap. Sebab listrik mati. Ia pun keluar rumah untuk memastikan kali yang tak jauh berada di lingkungannya, dan ternyata tidak meluap atau luber. Sementara di jalan pun air hujan tidak menggenangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun