Sejauh ini pesan mbah Jambrong tunai dikerjakan untuk menancapkan sebatang lidi bambu bertuah di tiap sudut tanah seluas tiga hektar itu. Dan, terbukti, kecuali satu orang saja. Tapi ia ingin kembali lagi seraya berharap diberikan sesuatu yang lebih ampuh agar Aki Sanca merelakan tanahnya.
Tidak makan waktu, ia kemudian tiba di kediaman tetua itu yang tubuhnya kurus, hitam, dan kotor. Ia juga berambut panjang tak terawat. Tetua ini sudah paham maksud kedatangannya.Â
Dan, segera menyuruh Dimin untuk mandi air kembang tujuh rupa sebagai syarat. Seusainya Dimin dibekali pula segenggam tanah pekuburan yang baunya amis terbungkus kain kafan yang berdarah.
"Taruh bekal ini di sisi kiri pintu masuk rumah orang tua yang punya tanah itu pada malam Jumat Kliwon. Tiga hari dari sekarang. Esoknya temui lagi, dan beres. Ingat itu,"katanya.
Sebagaimana hari yang ditentukan, Dimin kembali menemui Aki Sanca. Ia sudah berada di kampung yang menyambutnya dengan gerimis. Tepat azan maghrib dihentikan sedannya di muka halaman, dan bergegas masuk.Â
Sebelum mengetuk pintu, ia sempatkan untuk mengambil bekal dari tasnya dan diletakkan persis seperti yang diperintahkan tetua itu. Lalu mengucapkan salam.
Aki Sanca tak menggubris, lalu mengusirnya, namun dicegah Nyi Ronggeng, istrinya. Mereka terlibat perbincangan singkat yang tak jauh dari soal tanah. Tapi tetap buntu. Dimin selanjutnya meninggalkan tempat tersebut seraya tersenyum penuh kemenangan.
***
Sebaliknya di penghujung malam di kediaman kedua orang tua itu muncul keanehan yang dirasakan tuan rumah. Yakni, udara panas, disertai suara yang bikin bangun bulu kuduk seperti di film horor buatan dalam negeri, menyelimuti semua ruangan. Mereka kemudian mencari pangkal keanehan itu. Dicari di tiap sudut, tidak ada. Di bagian belakang sama. Hingga ditemukan bungkusan tersebut.
"Hm rupanya benda ini biang keroknya!"
Dibawanya masuk benda itu, dan kemudian dibuka bersama. Seketika keanehan pun lenyap.