"Apa?
"Rahasia."
Satu jam kemudian persis di Patung Kodok Kembar yang berjarak sekitar satu kilometer dari kantornya, Dimin minta diturunkan. Ia menyeberang, lalu melangkah pelan di sepanjang trotoar. Siapa sangka tak jauh di hadapannya ia kenali lelaki berambut panjang, kurus dan mengelek ransel butut berjalan cepat menuju halte. Dimin mengatupkan kedua tangannya membentuk corong di sekitar mulut.
"Kusno !"
Yang dipanggil mendekat, tersenyum lalu menjabat erat satu sama lain. Keduanya saling mengabarkan. Dimin mengajaknya menuju cafe tak jauh dari situ yang disebut Kusno sebagai jajanan kapitalis. Selayaknya sahabat, perbincangan pun menjurus ke segala arah, hingga Kusno terperangah dengan pengakuan Dimin.
"Jadi semua itu dengan bantuan klenik?"
"Begitulah."
Pengakuannya yang terbuka membuat Kusno urung menimpali. Padahal ia ingin sekali mengingatkan sahabatnya ini untuk tidak melakukan praktek kerja yang menurutnya di luar batas kemanusiaan. Klenik dan perdukunan bagi Kusno bukan solusi untuk menghadapi persoalan kerja. Masih banyak cara lain yang setidaknya saling menguntungkan agar semua pihak tidak dirugikan. Tapi hal ini di luar dugaannya.
"Sudah jelang empat tahun dan tiada halangan. Cuma hari ini ada yang menolak. Seorang tua di kampung sana yang punya 5000 meter. Padahal perjanjian sudah ditandatangani olehnya. Tapi itu soal mudah,"jelas Dimin mantap.
Kusno terdiam dan nafasnya tertahan. Pertemuan ini baginya terasa tidak nyaman, sebab itu ia undur diri untuk meneruskan perjalanannya.
Jelang malam usai pertemuannya dengan Kusno, Dimin kembali ke kantornya tapi sebentar saja. Ia lantas keluar dan bergegas dengan sedannya menuju suatu lokasi di sudut kota berbatasan dengan Jakarta. Tujuannya mbah Jambrong!