Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Konon Akibat Upah Tak Ditunaikan Risiko Tujuh Turunan (Dongeng Sunda Bagian 2 Tamat)

11 September 2019   15:24 Diperbarui: 11 September 2019   16:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama dua tahun sejak kiai Cipancur tunaikan tugasnya, keadaan desa itu pun banyak menemui masalah. Tidak hanya soal pembagian air untuk sawah yang kerap menimbulkan perselisihan. Kerukunan antarwarga juga terkikis. Terlebih sikap Kuwu Naya yang selama waktu itu juga cendrung arogan dalam mengambil keputusan desa. Pendek kata, masyarakat desa nyaris hilang kepercayaannya.

Yang paling menderita sudah tentu, Halim, mang tarja, Dayat, dan Komar yang hingga detik ini pun sawahnya kering, tiada air. Dan, selama waktu itu panen yang diharapkan rontok sama sekali. Hal ini menimbulkan kehebohan di desa. Sementara sawah yang lain tetap bisa nikmati panen empat kali, sebagaimana biasanya. Tapi sawah mereka tidak ada hasil apa-apa.  Padahal Munif, dibantu warga lain sudah optimal melakukan tugasnya untuk membantu sawah yang ada di penjuru desa itu agar tidak susut airnya.

Warga desa hanya heboh, dan bingung dengan kejadian ini. Di mata mereka, apa yang dialami sawah saudaranya itu dianggap aneh, dan ganjil. Di luar kemampuan akal sehat untuk menerimanya. Tapi ini benar-benar nyata terjadi.

"Aya naon eta teh. Sawah alus pisan kamari mah, sudah dua tahun ini tidak panen. Aneh pisan."

"Kang Munif juga sudah bantu habis-habisan, tapi tetep aja tidak ada perubahan."

"Kuwu juga tidak mau tahu sepertinya. Kenapa begitu? Dulu mah rajin dia."

Suara masyarakat rata-rata seperti itu bunyinya. Kebanyakan menyayangkan minimnya tindakan kuwu untuk mencari lebih jauh soal keadaan itu. Paling tidak, kata warga, bisa minta bantuan ke kecamatan, atau kabupaten.  Supaya empat saudaranya bisa tenang.

Namun kuwu Naya, hanya menandaskan apa yang menimpa sawah warganya hanya kasuistis saja, tidak general dialami warga desa lainnya.

"Ini sifatnya kasuistis, tidak semua sawah warga kekeringan,"begitu tiap kali Munif meminta upaya lebih jauh dari pimpinannya.

Namun demikian, sore hari Jumat, tatkala Munif tengah mengontrol saluran air di bagian barat dari desa, tampak sawah Halim sudah basah. Ia pun bergegas mendatanginya. Ternyata ajaib, sawah Halim basah kembali. Ia sendiri, kemudian datangi juga sawah mang Tarja di bagian lain, seperti halnya dengan sawah Komar, dan Dayat. Timur, utara, dan selatan basah semua sawahnya. Ajaib. Tak habis pikir, dan rasanya gembira. Karuan ia lari di pematang sawah yang ada di bagian Selatan untuk menemui pemiliknya.

Singkatnya pemilik sawah senang, juga masyarakat kembali tenang.

Munif juga melaporkan kondisi ini pada Kuwu Naya, yang hanya dingin menanggapi dan pendek mengomentari.

"Syukurlah kalau sudah basah lagi sawah mereka."

Satu hari usai makhluk itu dibebaskan kian Cipancur, menimbulkan dampak positif bagi warga desa.  Desa normal kembali sebagaimana dulu. Guyub, tentram, dan silih asih. Jumat itu sebagai Jumat berkah bagi warga, hingga esoknya malam minggu dibuat panggung hiburan, sebagai manifestasi rasa syukur. Warga secara swadaya mengundang seni pertujukan tari Tayub, dan degung. Juga tak kalah hebohnya Jaipongan. Semalam suntuk acara digelar di alun-alun desa. Kuwu Naya, dan pamong desa kelihatan malam itu turut gembira, meski desa tidak sepeserpun mengeluarkan biaya untuk acara itu. Setidaknya warga senang, restu diberikan pemimpinnya untuk acara hiburan ini.

***

Sejak usai panggung hiburan, Naya tampak murung. Tiada raut wajah sebagaimana biasanya yang cerah, dan penuh canda. Istri dan anaknya juga merasakan hal yang sama, sebagaimana Naya. Sebagai pemimpin desa, pekerjaan sepenuhnya dilakukan oleh sekretaris desa, dan pamong lainnya. Kebanyakan pamong tidak menaruh curiga sedikitpun terhadap perubahan sikap pimpinannya itu.  Sebagai kepala keluarga, Naya lebih banyak diam, meski anak bungsunya neng Wiena sering minta diajak keliling desa, terutama mendatangi sawahnya yang terbentang, dekat dengan kediamannya.

Neng Wiena usia lima tahun ini memang kerap kali diajak keliling desa dengan sepeda untuk menghabiskan waktu sore bersama abahnya ini. Tapi ajakan si bungsu ini kerapkali juga ditolaknya, sehingga harus diganti oleh kakaknya yang paling tua. Baru kemudian dia tenang kembali.

Sebagaimana kehidupan desa umumnya, jika menjelang maghrib semua anak-anak yang masih bermain di luar dimintanya untuk masuk ke rumah. Berbarengan dengan ternak, seperti ayam, bebek, bahkan kambing yang dikandangkan di tempat masing-masing.

Termasuk ambu Siti yang rumahnya berdampingan dengan Naya, sekitar 10 meter jaraknya itu. Sebab tidak seperti rumah di kota yang berhimpitan, di desa rumah memiliki halaman yang sangat luas. Jadi jarak antar rumah atau tetangga itu rata-rata 10-15 meter adanya. Sangat luas.

Sore jelang maghrib di malam Jumat itu, satu minggu setelah makhluk tersebut dibebaskan, tatkala ambu Siti tengah menampi beras di depan rumahnya, sementara tiga orang anaknya masih menemaninya di halaman, menyaksikan kejadian yang menakutkan.

"Hayu barudak ke sini semua, masuk, cepat,"teriaknya pada anak-anaknya sekaligus mendekap mereka semua untuk masuk ke dalam rumah. Sementara beras yang tengah ditampinya dilemparkan begitu saja, berantakan. Suaminya di dalam terkejut melihat wajah ambu Siti yang pucat pasi, diam, tanpa ekspresi.

Setelah segelas air, diberikan, baru kemudian ambu Siti kembali tenang. Anak-anaknya pun melingkarinya, bersama dengan suaminya, mengisahkan.

"Aya naon nya kang, eta di imah kuwu?Geuning banyak pasukan berkuda, barodas pisan juga. Ih sieun!

"Atuh ambu ningal naon?

"Duka, kang, Teu terang ambu mah.

Suaminya pun kemudian memastikan, dan tak kalah terkejutnya secara kasat mata ia melihat dari kejauhan seperti pasukan perang tengah menunggu perintah saja adanya. Untuk memberitahu pada tetangga yang lain tidak mungkin, sebab mesti melintas juga di jalan di mana pasukan itu berada. Suami dan ambu Siti inipun hanya berdoa saja semoga tidak terjadi apa-apa. Namun demikian, selang beberapa menit kemudian terdengar suara gaduh, dan sorak sorai yang keluar dari pasukan itu yang mereka dengar. Suara ringkik kuda pun tak kalah hebohnya, seperti menyambut suatu kemenangan. Ambu Siti, dan suaminya mendengar sorak suara gempita.

"Beunang ! Beunang !! Beunang!!!

Kemudian senyap kembali, dan hilang sekejap. Seperti tidak terjadi peristiwa apapun. Tapi sekian menit kemudian terdengar suara tangis menyayat dari kediaman kuwu Naya. Anaknya yang paling tua berlari memberitahukan ambu Siti dan suaminya.

"Ambu, ambu?

"Aya naon den ashar?

"Abah tos maot ambu!

"Innalillahi wa innailaihi rojiun."

Seketika itu juga warga ramai mendatangi kediaman pemimpinnya, dan tidak percaya sama sekali ia wafat. Sebab sore tadi ia masih ada di balai desa untuk sekadar berbincang dengan pamong terkait urusan pemerintahan desa.

***

Kiai Cipancur tengah bersiap untuk menuju ke sawah pagi itu. Namun tak disangka muncul seorang  pamong desa, Isnen, anak buahnya Naya, berkunjung ke rumahnya. Pamong yang datang sendiri ini hanya berniat mampir setelah ada urusan dengan pamong desa di mana kiai tinggal. Pamong ini pun sebenarnya adalah adik kandung dari ambu Siti.  

"Assalamualaikum kiai."ucapnya seraya menghampiri, dan mencium tanganya.

"Waalaikum salam, saha nya silaen teh. Kok tumben sekali mau datang ke rumah?

"Iya kiai, maaf mengganggu. Saya ini dari desa Balandongan habis ketemu pamong desa ini, ada keperluan sebentar. Tapi tidak langsung pulang. Mau sekadar main saja ke rumah kiai. Mampir atuh,  ada kiai kok dilewati begitu saja, kata rekan pamong itu. Ya udah akhirnya saya ke sini. Tapi kelihatannya kiai mau ke sawah ya.

"Wah Alhamdulillah mau berkunjung mah. Iya ini mau siap-siap ke sana. Masuk dulu ya?

"Tidak usah kiai, terima kasih, sekalian aja kita jalan,lagi pula kalo sudah ketemu kiai kan tenang sayanya.

"O baiklah kalau begitu. Hayu atuh.

Mereka pun kemudian berdampingan jalan, meski tujuan beda. Kiai Caipancur sebagaimana petani biasanya. Pakai celana pangsi hitam, baju hitam, dan kaos dalam putih, serta cangkul di bahunya. Mereka terlibat pembicaraan ringan, hingga kemudian pamong ini mengisahkan soal wafatnya Kuwu Naya.

"Innalillahiwa inna ilaihi rojiun, kapan?

"Seminggu lalu, kiai. Jadi di desa sementara ini dipimpin sekretaris desa. "

Seperti mendapat kabar yang tak terduga akhirnya ini, kiai pun malah tidak pergi ke sawah, tapi mengajak pamong yang dipandangnya sangat dipercaya ini untuk mengisahkan sebab kematian kuwu Naya itu, sebagaimana peristiwa dua tahun lalu. Kiai panjang lebar mengisahkannya dengan raut wajah yang tetap tenang .

Namun berbeda dengan pamong ini, demi mendengar kisah yang disampaikan kiai tersohor ini. Ia bergidik, dan mengaku antara percaya dan tidak. Tapi kisah itu seperti nyata adanya.

"Jadi itu semua akibat ulahnya yang tidak menepati janji. Dua tahun lamanya saya memikul beban yang teramat berat. Orang tidak tahu, tapi saya merasakan begitu hebat, bagaimana usaha saya untuk menyingkirkan mahkluk itu. Dan, memang sengaja saya kurung mahluk itu  dalam tubuh saya, dengan harapan usai ditunaikan sisa uangnya, maka makhluk inipun akan saya pindahkan ke lokasi lain yang lebih jauh. Kalau perlu di hutan sana. Tapi sayang penantian saya tidak dipenuhinya. Dan saya pikir akang teh diutusnya.

"O ya ampun, kiai. Tidak demikian. Saya sama sekali tidak tahu soal ini. Tapi pohon Kemuning itu memang saya tahu. Dan, peristiwa ini pun saya tidak tahu, sampai kiai diundang datang untuk keperluan menebangnya dulu.

"Iya, memang semuanya tidak tahu, hanya saya dan kuwu Naya saja. Saya kira, kuwu itu wafat terkait dengan usahanya menebang pohon itu. Mahkluk itu pun bersumpah untuk menghabisi pula tujuh turunannya.

"Tujuh keturunan kiai?

Iya, tujuh keturunan. Perlu tahu saja ya, di lokasi itu, adalah pusat kerajaan segala mahkluk gaib. Pohon Kemuning itu di mata bathin saya adalah pintu masuknya. Saya mendapatkan informasi ini dari mbah guru. Bahwa desa Balandongan pasti subur, oleh karena dekat dengan pusat kerajaan makhluk gaib. Tiada seorang pun sejak dulu kala sanggup untuk merobohkannya. 

Dulu Kemuning tidak sependek itu. Tapi besar, besar sekali. Diameternya hingga 20 meter, Tingginya pun sama, 20 meter, dan sangat rindang. Tapi sebagai manusia kita hanya berikhtiar menyangkut benar atau tidaknya kisah itu. Yang pasti usaha warga desa untuk makmur dan sejahtera, jangan juga dikaitkan dengan kisah bahwa desa makmur akibat dekat dengan kerajaan tersebut. Jangan. Nanti musyrik adanya. Ini hanya kisah yang saya peroleh dari mbah guru saya.

Kalau boleh tahu, yang kiai lepaskan itu siapanya?

"Ya pemimpinnya. The big father hehehehe.

"Ah kiai bisa aja.

"Ya, dia rajanya. Kalau rajanya bisa ditaklukkan dengan sendirinya anak buahnya pun akan ikut kemana raja pergi. Jadi untuk melakukan sesuatu itu harus dari pokok pangkalnya lebih dulu. Baru kemudian yang lain-lain. Dalam pemerintahan desa juga demikian, kan?

"Benar kiai.

Panjang lebar kiai Cipancur mengisahkan perihal keterkaitan wafatnya kuwu Naya, dengan makhluk gaib itu. Mulai dari pengkolan jalan, kemudian kembali ke rumahnya, sekaligus santap siang, baru kemudian pamong ini pun pamit. Sebab tidak enak rasanya meninggalkan tanggungjawabnya sebagai aparat desa. Sekaligus merepotkan Nyai, dan kiai di rumahnya ini.

"Sudah siang kiai, saya mohon pamit dulu?

"Iya kalau begitu, jangan sungkan ya, kalau kebetulan ada perlu dengan pamong desa sini, mampir."

"Iya kiai, terima kasih banyak."

***

Tahun berganti, tiap kematian seseorang yang muncul di desa Balandongan selalu dikaitkan dengan siapa keturunannya. Hal ini tentu saja sudah menyebar, dan diketahui masyarakat sejak dulu. Kematian yang menimpa keturunan kuwu Naya, memang bisa dirasakan ganjil oleh masyarakat. Tanpa sebab sakit, atau pun sesuatu yang menimbulkan kematian, tiba-tiba mendengar kabar si anu wafat, padahal siang tadi habis bergurau. 

Atau lain lagi si anu wafat, padahal habis main dengan teman-temannya. Begitu seterusnya. Masyarakat boleh dibilang mengetahui hal ini, namun tetap disimpan dalam hati. Begitu juga yang dirasakan keturunun kuwu Naya.Tetapi rasanya mereka tidak mau tahu. 

Atau tahu tapi diam-diam saja. dan kuatir akan menimpanya pula. Sehingga terkait dengan pohon Kemuning ini, semua orang tutup mulut. Hanya bisa diam, dan menduga-duga siapa keturunan berikutnya yang wafat di desa ini.

Sekian, terima kasih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun