Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Konon Akibat Upah Tak Ditunaikan Risiko Tujuh Turunan (Dongeng Sunda Bagian 2 Tamat)

11 September 2019   15:24 Diperbarui: 11 September 2019   16:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munif juga melaporkan kondisi ini pada Kuwu Naya, yang hanya dingin menanggapi dan pendek mengomentari.

"Syukurlah kalau sudah basah lagi sawah mereka."

Satu hari usai makhluk itu dibebaskan kian Cipancur, menimbulkan dampak positif bagi warga desa.  Desa normal kembali sebagaimana dulu. Guyub, tentram, dan silih asih. Jumat itu sebagai Jumat berkah bagi warga, hingga esoknya malam minggu dibuat panggung hiburan, sebagai manifestasi rasa syukur. Warga secara swadaya mengundang seni pertujukan tari Tayub, dan degung. Juga tak kalah hebohnya Jaipongan. Semalam suntuk acara digelar di alun-alun desa. Kuwu Naya, dan pamong desa kelihatan malam itu turut gembira, meski desa tidak sepeserpun mengeluarkan biaya untuk acara itu. Setidaknya warga senang, restu diberikan pemimpinnya untuk acara hiburan ini.

***

Sejak usai panggung hiburan, Naya tampak murung. Tiada raut wajah sebagaimana biasanya yang cerah, dan penuh canda. Istri dan anaknya juga merasakan hal yang sama, sebagaimana Naya. Sebagai pemimpin desa, pekerjaan sepenuhnya dilakukan oleh sekretaris desa, dan pamong lainnya. Kebanyakan pamong tidak menaruh curiga sedikitpun terhadap perubahan sikap pimpinannya itu.  Sebagai kepala keluarga, Naya lebih banyak diam, meski anak bungsunya neng Wiena sering minta diajak keliling desa, terutama mendatangi sawahnya yang terbentang, dekat dengan kediamannya.

Neng Wiena usia lima tahun ini memang kerap kali diajak keliling desa dengan sepeda untuk menghabiskan waktu sore bersama abahnya ini. Tapi ajakan si bungsu ini kerapkali juga ditolaknya, sehingga harus diganti oleh kakaknya yang paling tua. Baru kemudian dia tenang kembali.

Sebagaimana kehidupan desa umumnya, jika menjelang maghrib semua anak-anak yang masih bermain di luar dimintanya untuk masuk ke rumah. Berbarengan dengan ternak, seperti ayam, bebek, bahkan kambing yang dikandangkan di tempat masing-masing.

Termasuk ambu Siti yang rumahnya berdampingan dengan Naya, sekitar 10 meter jaraknya itu. Sebab tidak seperti rumah di kota yang berhimpitan, di desa rumah memiliki halaman yang sangat luas. Jadi jarak antar rumah atau tetangga itu rata-rata 10-15 meter adanya. Sangat luas.

Sore jelang maghrib di malam Jumat itu, satu minggu setelah makhluk tersebut dibebaskan, tatkala ambu Siti tengah menampi beras di depan rumahnya, sementara tiga orang anaknya masih menemaninya di halaman, menyaksikan kejadian yang menakutkan.

"Hayu barudak ke sini semua, masuk, cepat,"teriaknya pada anak-anaknya sekaligus mendekap mereka semua untuk masuk ke dalam rumah. Sementara beras yang tengah ditampinya dilemparkan begitu saja, berantakan. Suaminya di dalam terkejut melihat wajah ambu Siti yang pucat pasi, diam, tanpa ekspresi.

Setelah segelas air, diberikan, baru kemudian ambu Siti kembali tenang. Anak-anaknya pun melingkarinya, bersama dengan suaminya, mengisahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun