Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Konon Akibat Upah Tak Ditunaikan Risiko hingga Tujuh Turunan (Dongeng Sunda Bagian 1)

11 September 2019   14:02 Diperbarui: 11 September 2019   16:59 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Habis dari sawah. Di sana mulai banyak burung, kuatir ganggu padi, kan sebentar lagi panen,"Jawabnya.

"Atuh besok-besok mah yang ke sawah si Ujang aja, kang. Nanti akang kurang istirahatnya.

"Iya atuh, kalo begitu mah, si Ujang wae.

Semalaman Naya berpikir keras. Ada sesuatu yang baru kali ini ia tidak mengerti. Pohon yang seharusnya sudah tumbang justru malah jadi pikiran sekarang. Ada apa dengan pohon itu? Pohon yang kecil, tipis, dan tidak kokoh, tapi nyatanya sekokoh baja. Naya hanya berpikir, dan pulas tertidur di sisi Acih, akhirnya, tenang.

***

Oleh sebab ada fakta yang bertentangan dengan akal sehatnya, maka Naya ambil keputusan untuk menemui seorang yang lebih pintar.  Pintar menebang pohon, dan pintar juga mengalahkannya. Karena ia sendiri kalah, mungkin semua orang di desa kalau dilibatkan menebang, juga pasti kalah. Tapi ia tidak mau, sebab ini sawahnya dia. Sawah keturunan yang mesti dijaga. Apa jadinya kalau orang satu desa ada di sawahnya?Yang pasti panen akan gagal, karena terinjak-injak.

Sebagai Kuwu tentu  mudah baginya peroleh informasi, dan bantuan untuk didatangkan siapa orang yang punya kepandaian menghadapi hal-hal yang ganjil sebagaimana yang dia alami. Karenanya sudah beberapa orang yang punya kapasitas untuk dimintai tolong, tapi malah ngacir ketika datang ke lokasi. Padahal belum sama sekali melakukan tugasnya.

Dari situlah kemudian ia datangkan seorang Kiai sakti mandraguna, mampu berjalan di atas air, terbang melintasi batas langit dengan ruhnya, juga tidak sombong orangnya. Ia punya julukan, Kiai Cipancur. Orangnya tinggi semampai, sholeh, tenang, dan selalu bersorban. Tanpa janggut, dan jenggot. Ia dan Naya nyaris sebaya, sebagaimana kakak beradik bila diperhatikan dengan seksama.

Kiai Cipancur kemudian sudah bersama Naya di rumahnya.

"Kiai, punten ini, saya mau minta tolong. Ada sisa pohon Kemuning di tengah sawah saya yang masih belum bisa dicabut akarnya. Sudah saya usahakan sendiri, tapi tetap tidak bisa,"ungkap Naya pada Kiai yang juga tengah meneropong kedalaman isi hati Naya, jujur atau bohong soal kemauannya ini.

"Pohon Kemuning di tengah sawah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun