Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Konon Akibat Upah Tak Ditunaikan Risiko hingga Tujuh Turunan (Dongeng Sunda Bagian 1)

11 September 2019   14:02 Diperbarui: 11 September 2019   16:59 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munif yang sudah turun temurun, dari buyut, kakek, hingga dirinya menjadi staf desa di bagian pengairan juga keheranan, apalagi si empunya sawah. Karenanya ia cepat kembali ke balai desa, sekaligus meyakinkan semua pemilik sawah untuk bersabar. Munif lapor pada Naya.

"Kalau kondisinya seperti ya disampaikan, ya sudah, ditata ulang aja,"kata Naya mengambil kesimpulan.

"Ditata ulang, bagaimana?

"Kok malah balik bertanya. Saudara kan yang bertanggungjawab untuk urusan air. Ya ditata ulang lagi. Empat sawah itu bisa diairi sawahnya dari air sawah yang lain di sebelahnya. Atau Saluran airnya dibenahi lagi supaya rata pengairan untuk sawahnya.

"Bukan itu masalahnya. Ini ganjil saja di mata saya. Saluran air limpahan dari sungai sudah lebih dari cukup mengairi sawah satu desa. Itu saya mengerti.Tapi empat sawah milik warga di sudut desa, justru kering, padahal  sawah merekalah yang seharusnya airnya melimpah. Bagaimana mungkin air sungai yang ada di sisi sawah mereka tidak jalan mengairi sawahnya, tapi ke sawah sebelahnya mengalir biasa saja."

Naya tersentak mendapat penjelasan yang menurutnya juga tidak masuk akal ini. Akhirnya ia mengerti dan maklum dengan pandangan Munif itu. Dan mencari jalan keluar esoknya bersama staf kelurahan yang lain.

***

Sore sebagaimana niatnya, maka Naya kembali mendatangi pohon Kemuning yang tinggal batangnya yang menempel diakarnya untuk dipangkas dan dicabut sekalian. Sore itu tiada angin maupun suara kicauan burung yang senantiasa ada di tengah sawah. Awan juga tampak redup, tidak ada pelangi, sebagaimana biasanya ketika senja datang menjelang di desa ini. Di tengah sawah miliknya juga suasana seakan tidak ada kehidupan, sunyi jempling.

Naya sudah menyiapkan diri. Sekali dua kali, hantaman kapak, tidak menggoyahkan satu-satunya batang pohon Kemuning yang tersisa. Ia ambil golok, dipukulkannya pula, juga tidak mempan. Kapak dan golok, ia istirahatkan. Lalu ia coba dengan tangannya, sebab batangnya ini kecil dan tipis, seukuran sapu, barangkali tinggal dipites, atau diputar-putar bakal patah. Tapi nyatanya juga tidak. Justru liat dan kuat.

Belum selesai batangnya, ia alihkan ke akarnya. Ia coba hantamkan berulang kali, antara kapak dan golok. Akar itu tetap pada posisinya, tidak tergores sama sekali. Keringat membasahi wajah dan tubuhnya. Naya seketika bergidik, merinding. Ia heran, kemarin begitu mudah hantaman kapak, dan goloknya menghabisi yang namanya pohon ini. Tapi kini ia bingung, heran, dan tidak habis pikir. Bagaimana bisa tidak mempan dihabisi? Sampai di sini logika materialismnya bermain. Ternyata ada logika dunia lain. Ia pun putuskan untuk kembali pulang, persis magrib menjelang.

"Darimana Kang?Tanya istrinya Acih di teras rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun