Mohon tunggu...
Agustina Elda
Agustina Elda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Trotoar Milik Siapa?

1 November 2017   02:28 Diperbarui: 1 November 2017   02:44 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keadaan angkringan di Jalan Wongsodirjan Yogyakarta

Ruang publik merupakan tempat atau ruang yang dapat diakses atau dimanfaatkan oleh masyarakat secara gratis dan bisa digunakan masyarakat secara bersama-sama baik individu maupun kelompok. Saat ini ketersediaan ruang publik di kota-kota di Indonesia secara umum masih kurang layak secara kualitas. Banyak ruang publik yang gagal dalam mengemban fungsinya sebagai sarana untuk memberi kenyamanan, ketertiban, dan keamanan masyarakat kota. Khusunya di kota Yogyakarta, kota budaya dan pariwisata yang banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara.

Banyak permasalahan yang harus dihadapi dalam pemanfaatan ruang publik itu sendiri, salah satunya adalah penggunaan ruang publik yang tidak sesuai peruntukannya atau dikenal sebagai privatisasi ruang publik. Permasalahan yang cukup mengganggu adalah penggunaan trotoar yang dialih fungsikan sebagai tempat berjualan oleh oknum-oknum pedagang kaki lima (PKL). 

Daerah milik jalan yang memang didesain untuk kepentingan pedestrian seharusnya digunakan sesuai dengan peruntukannya. Banyaknya PKL tak berizin yang berjualan diatas trotoar merupakan salah satu akibat dari pengelolaan ruang publik yang tidak maksimal. Kini, ruang publik yang seharusnya gratis disediakan pemerintah, sudah diambil alih oleh para PKL. Salah satu contohnya adalah keberadaan angkringan-angkirngan kopi joss di sekitar Jalan Wongsodirjan, Yogyakarta.

Pedagang kaki lima (PKL) adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersil di atas daerah milik jalan (trotoar) yang seharusnya diperuntukkan untuk pejalan kaki. PKL merupakan bukti nyata praktek privatisasi ruang publik, di mana tempat-tempat yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat secara umum justru digunakan untuk mencari keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Biasanya tempat-tempat yang menjadi sasaran privatisasi merupakan tempat yang ramai dikunjungi atau dilalui masyarakat.

Pada awalnya keberadaan angkringan-angkringan ini berada di sepanjang Jalan Mangkubumi, namun direlokasikan oleh pemerintah dan kini keberadaannya di sepanjang Jalan Wongsodirjan. Bisa dikatakan angkringan-angkringan ini legal. Selain keberadaannya merupakan hasil relokasi oleh pemerintah, mereka juga membayar pajak sekian rupiah perharinya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada biaya kontribusi lain yang ditarik setiap harinya diluar kendali pemerintah. Hal ini terbukti sewaktu kami sekilas mewawancarai salah satu pedagang. 

Saat kami bertanya tentang ada atau tidaknya biaya kontribusi itu, mereka mengalihkan pandangan seakan menutupi sesuatu tanpa menjawab pertanyaan kami. Adanya penarikan lain diluar pajak oleh oknum tertentu semakin memaparkan kenyataan bahwa privatisasi terhadap trotoar benar adanya, baik oleh PKL maupun oknum dibelakangnya yang mencari keuntungan melalui "status legal" keberadaan angkringan di sepanjang Jalan Wongsodirjan. Sangat disayangkan karena tidak adanya pengawasan dari pihak berwajib secara kontinuitas dan maksimal untuk menjaga ketertiban PKL.Faktanya tidak semua masyarakat sadar dan mengerti akan adanya privatisasi trotoar oleh PKL dan oknum dibelakangnya. Menurut Chaney, dalam bukunya Lifestyle (41: 1996), pola kehidupan sosial seringkali disederhanakan dengan istilah budaya. Budaya merupakan keseluruhan gaya hidup seperti kebiasaan, sikap, nilai-nilai, serta persamaan pemahaman yang menyatukan mereka sebagai suatu masyarakat. Kegiatan berdagang di atas ruang publik dinilai sebagai hal yang biasa dan telah membudaya. Padahal praktek ini merupakan bentuk budaya yang menyimpang.

Seperti halnya angkringan yang sudah menjadi budaya yang ada di Yogyakarta dan keberadaannya memakan daerah milik jalan. Masyarakat sudah tidak lagi merasa terganggu dengan keberadaan angkringan yang sangat jelas mengambil trotoar yang adalah hak bagi pejalan kaki, bahkan mungkin akan merasa aneh jika tidak ada angkringan di pinggir jalan. Selain itu adanya pemikiran "tidak ke Yogyakarta kalau tidak ke angkringan" dikalangan wisatawan akhirnya menimbulkan toleransi akan keberadaan angkringan yang berada di atas trotoar. 

Angkringan sudah menjadi salah satu destinasi wisata bagi wisatawan, apalagi angkringan kopi joss yang menyajikan menu spesial kopi yang dimasukan arang panas ke dalamnya. Bagaimana wisatawan bahkan warga lokal tidak tertarik untuk sekedar minum kopi sambil bercengkrama dengan kerabat? Unik, nikmat, harga murah sambil ditemani dengan suasa kota Yogyakarta yang hangat dan romantis. Sangat tidak mungkin rasanya meniadakan keberadaan angkringan kopi joss di sepanjang Jalan Wongsodirjan yang jelas mengambil hampir seluruh trotoar disepanjang jalan tersebut.

Keberadaan angkringan yang menjadi budaya ini tidak jauh karena adanya poweratau kekuatan yang mampu mengontrol prilaku masyarakat. Menurut France dan Raven, daya kekuatan sosial yang potensial berbasis informasi, media, penghargaan, dan sebagainya mampu merubah keyakinan, prilaku, emosi, bahkan pola pikir seseorang. Budaya angkringan terbentuk karena adanya informational powerdan media power.

Di zaman yang semakin canggih, informasi bisa didapatkan dengan sangat cepat bahkan dapat didapatkan langsung dari sumbernya melalui media sosial. Angkringan sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat. Membagikan pengalaman nongkrong di angkringan kopi joss melalui sosial media juga menjadi budaya. Informasi mengenai kopi joss tersebar luas melalui media sosial. 

Tidak hanya media sosial, media cetak seperti koran dan majalah bahkan media elektronik seperti televisi dan radio ikut membagikan fenomena angkringan kopi joss. Khalayak yang menerima informasi melalui berbagai media pada akhirnya secara tidak sadar tersugesti untuk ikut merasakan sensasi nongkrong di angkringan kopi joss. Betapa kekuatan media dan informasi mampu mengubah dan mengontrol sikap, emosi, pola pikir, bahkan budaya di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun