Mohon tunggu...
Catatan Lepas
Catatan Lepas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis buku "Lara Jasad" (2023) & "Melayat Mimpi" (2023)

Hanya ingin mengabadikan kisah lewat aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskriminasi Perempuan dalam Novel Bumi Manusia

6 Mei 2022   21:23 Diperbarui: 6 Mei 2022   21:24 2279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam buku "Seni, Politik, Pemberontakan" karya Albert Camus dan beberapa temannya dikatakan bahwa seni adalah sebuah pemberontakan. Para seniman mulai mencoba untuk bersaing dengan Tuhan.  Mereka melihat dunia sebagai sebuah ciptaan Tuhan yang gagal. Atau dalam bahasanya Nietzsche ia mengatakan bahwa tidak seorang pun seniman dapat menerima kenyataan. Bahkan bagi Roesseau mendefenisikan seni seperti racun yang dituangkan masyarakat kepada alam.

Seni seakan memberikan wadah khusus bagi setiap orang untuk melahirkan protes terhadap berbagai kekecauan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya, teater, novel, film, dan berbagai karya sastra lainnya. Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer tidak lain sebagai bentuk pemberontakan meskipun karya ini hanya sebagai sebuah karya imajinasi. Namun, konteks sosial dan nama tokoh utama (Minke) yang digunakan berdasarkan pengalaman dari Raden Mas Tirto Adisuryo.

Novel Bumi Manusia adalah sebuah karya sastra yang melukiskan situasi di Hindia-Belanda dalam masa penjajahan. Ada beberapa hal yang ditampilkan dalam Novel yang telah berhasil difilmkan pada tahun 2019 oleh Falcon Pictures dengan Hanung Bramantyo sebagai sutradaranya. Salah satunya adalah diskriminasi terhadap perempuan. Sikap yang memandang perempuan berada pada tingkatan kedua rupanya dibawa serta oleh kolonial dari Eropa dan diterapkan dalam budaya Indonesia. Sikap ini dirasakan oleh beberapa tokoh perempuan dalam novel Bumi Manusia seperti Nyai Ontosoroh, Annelies, Maiko, Sie-sie, dan Min Hwa. Tokoh yang paling merasakan diskriminasi adalah Nyai Ontosoroh.

Diskriminasi yang diterima oleh Nyai Ontosoroh ketika dirinya harus merelakan kehidupannya sendiri demi keuntungan sang ayah, dirinya dinikahkan oleh ayahnya demi sebuah jabata. 

"Waktu berumur empat belas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk golongan perawan tua.... Ayah mempunyai rencana tersendiri tentang diriku. Tidak seperti ayahku, Ann, aku takkan menentukan bagaimana harusnya macam menantuku kelak. Kau yang menentukan, aku yang menimbang-nimbang. Begitulah keadaanku, keadaan semua perawan waktu itu Ann, hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor berapa" (Toer, 2017:118)

Selain itu sikap diskrimasi dirasakan ketika ia bersama Minke berusaha untuk mempertahankan hak warisan dari Herman Mellema di pengadilan. Status Nyai yang dikenakan pada rupanya membuat kehilangan harta warisan. Ia kalah dipengadilan yang membuatnya kehilangan harta dan juga Annelies Mellema, putrinya.

Stereotipe yang kenakan padanya sebagai seorang gundik membuat tidak bisa berbuat banyak dalam masyarakat yang membuat semua orang melihatnya bukan orang baik. Berikut kutipannya,

"Terdengar peringatan pada kuping batinku: awas, jangan kau samakan dia dengan Bunda. Dia hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan sah, melahirkan anak-anak tidak sah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah, menjual kehormatan untuk kehidupan senang dan mewah" (Toer, 2017:38).

Masalah diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi dalam Novel Bumi Manusia mendapat tempat istimewa dalam kelima sila Pancasila, sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".  Hadirnya sila ini tidak lain berangkat dari masalah diskrimanasi yang terjadi dalam masyarakat yang adalah warisan dari budaya Eropa. Manusia yang adil berarti yang mendapat perlakuan yang sama sebagai warga negara. Rupanya adil saja tidak cukup sehingga sikap yang beradab juga menjadi harapan dari kehidupan bersama.

Meskipun telah dimasukan dalam Pancasila, diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi hingga saat ini. Bahkan ada budaya yang kurang memberikan tempat bagi perempuan. Perempuan dianggap tidak lebih kuat dari laki-laki. Perempuan selalu dikaitkan dengan tugas menjadi ibu rumah tangga. Namun, salah satu tokoh yang perlu mendapat pujian adalah Nyai Ontosoroh. Meskipun sebagai seorang pribumi yang pada waktu itu hanya dipandang sebelah mata, ia berhasil mengguncangkan kebiasaan waktu itu. Inilah beberapa bukti dari ketidakadilan dan ketidakadaban yang dialami perempuan dalam novel Bumi Manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun