Mohon tunggu...
Erna Suminar
Erna Suminar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar, sederhana dan bahagia

# Penulis Novel Gerimis di El Tari ; Obrolan di Kedai Plato ; Kekasih yang tak Diinginkan ; Bukan Cinta yang Buta Engkaulah yang Buta. Mahasiswa Program Doktor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasihat Dari Seorang Pendeta Buddha

15 Februari 2014   17:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13924343891214313216

Ketika saya menulis artikel ini, saya baru berbincang dengan Romo Atma Gitadarma melalui bbm.  Saya  bertemu pertama kali  dengannya di vihara Karuna Mukti, Jl. Sasakgantung, Bandung, pada tanggal 9 Januari 2014. Pertemuan itu  memberikan kesan yang manis. Sebagai seorang muslimah, ada di tengah-tengah ummat Buddha, dan di dalam vihara pula,  saya menyadari, ini akan memberikan aroma yang berbeda. Namun, Romo Atma, seakan tahu benar apa yang saya rasakan.  Ketika itu,  saya mengungkapkan diri dengan jujur, bahwa saya sedang riset untuk kepentingan buku saya.  Dengan  kapasitas ke-romo-annya, beliau yang sedang mengajar agama Buddha, sebagai seorang pendeta, membuka ruang yang begitu lapang pada kehadiran saya.



Sebenarnya, saya begitu khawatir ketika memutuskan menulis catatan ini, mungkin Romo Atma yang sabar, lembut dan rendah hati, menolak dirinya dipuji dan dibincangkan di media. Mungkin  suatu hari beliau akan menemukan tulisan ini.  Seandainya beliau sempat membacanya, akan melukai hatinya. Baiklah, saya tidak ingin memujinya, bahkan tak mencoba untuk mengaguminya.  Romo Atma berkata, “Jangan melekat kepada yang berkondisi” Dalam bahasa Islam,  “Jangan mencintai berlebihan pada sesuatu yang fana.” Karenanya, saya hanya akan menuliskannya sebatas untuk mengikat makna.

Ada hal yang sangat sulit saya lupakan, sebuah kisah pribadi Romo Atma ketika bertemu dengan seorang penderita gangguan psikologis. Orang tersebut selalu diganggu oleh keinginan melukai, bahkan membunuh seseorang. Ia telah berobat ke mana-mana, mulai paranormal hingga ke dokter jiwa. Namun, ia tak kunjung sembuh, dan ia merasa putus asa. Lalu, pada  suatu hari, ia berkata perihal dirinya, “Tolong saya, Romo..” Hanya sebuah “resep obat” yang Romo Atma berikan kepadanya, “Pancarkan kasih..” Ketika melihat  apa pun, pancarkan kasih. Setelah sekian lama, Romo Atma  bertemu kembali dengan orang tersebut, dan ia telah sembuh. Obatnya, hanya mengasihi semua makhluk dengan ketulusan yang dipancarkan dari dalam hati.

Saya jadi teringat  Rasulullah SAW ketika menghadapi  seorang pemabuk. Dengan sepenuh kasih, Rasulullah  meneguhkan harga dirinya, dan hanya satu resep yang beliau tawarkan pada  sang pemabuk itu, “Jangan berkata bohong..” Setelah sekian lama, ternyata resep obat kejujurannya seperti efek domino di segenap pilihan-pilihan tingkah lakunya, yang membuatnya menutup pintu-pintu kebohongan, bahkan membohongi nuraninya sendiri.

Saya kian percaya, terlepas dari apa pun agamanya,  bahwa kasih akan menyembuhkan. Dengan lembut, Allah berfirman di dalam Al Qur’an, “Tolaklah keburukan dengan kebaikan” Dan bahwa, manusia selayaknya memperlakukan musuh bagai sahabat yang setia. Pembenci  akan menunjukkan siapa diri kita, dengan ketelitiannya menelisik  segenap kekurangan kita. Dialah obat yang paling pahit, namun menyehatkan.

Memancarkan kasih, ini pekerjaan yang sangat sulit. Kita akan lebih mudah memancarkan kasih pada seekor babi, daripada kepada pembenci kita. Bahwa, alasan mencintai Allah untuk membebaskan diri dari ketidakberdayaan, dan juga berlindung pada hukuman sosial, akan lebih mudah dibandingkan mencintai manusia dengan segala tingkah lakunya yang tak terduga.  Mencintai manusia itu perjuangan  sangat berat, yang tak ada kurikulumnya. Ujian ketulusan cinta kita pada saat dikhianati, diabaikan, dilecehkan, disalahtafsirkan, direndahkan, dihinakan, hingga diperlakukan sewenang-wenang.  Sungguh manusia itu seringkali membuat perasaan jatuh bangun dan terluka. Tetapi,  kita tak dapat menghindar dari mereka, bahkan mereka adalah pintu-pintu yang menjadikan kita menjadi makhluk yang ada “harganya” di hadapan Tuhan dan semesta.

Senja ini, sebenarnya, saya sedang berusaha mengatasi kesedihan.  Saya tahu, kebenaran dan nasihat indah  dapat datang dari mana saja dan kapan saja. Dengan lembut Romo Atma menulis pesannya untuk saya dari sekian pesan-pesannya yang sejuk dan menentramkan, “..saat nilai-nilai kasih sayang, kebenaran terungkap, itu bagaikan nutrisi yang diserap oleh pikiran, yang kemudian mengirimkannya..Tubuh kita akan semakin terkendali, ucapan kita menjadi lembut..membersihkan dan mengoreksi setiap langkah keliru dalam perjalanan hidup kita...”

Mungkin benar, pancaran kasih (metta),  cinta,   adalah sebentuk ruang yang lapang pertemuan para jiwa.  Ketulusan kasih yang menghujam di hati  tak akan membuka peluang bagi seseorang meruang harap dan benci pada apa pun dan siapa pun. Kecuali berharap kepada diri sendiri agar lebih baik dan  belajar tumbuh lebih bijaksana. Biarkan cinta menjadi bahasa yang mewujud dalam tindakan dan do’a, tanpa perlu mengungkapkannya dalam kata.   Biarkan ketulusan menjadi bahasa hati yang paling tersembunyi, karena ketika terucap hanya akan menggugurkan kesakralannya.  Benar kata Romo Atma, “..karena bebas dari kemelekatan, yang membuat manusia akan merdeka.”

____

Bandung, 14 Februari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun