Yang mengganggu pikiran saya, jika Reuni 212 yang berlangsung setiap 2 Desember. Reuni 212 katanya bagian dari massa kritis.
Lalu, saya merenung sejenak. Betulkah Reuni 212 dari sejak terbentuk hingga kapan pun tidak “jualan agama?” Frasa terakhir ini, saya sulit menghindarinya.
Pertanyaannya, mengapa sejak pagi-pagi emosi massa tidak dikelola secara produktif? Bukan bayangan destruktif?
Semua bisa meledak kemana-mana. “Harapan lebih bisa banyak yang hadir, lebih damai, senanglah,” ujar Ilham, peserta Reuni 212 di Masjid At-Tin TMII, Jakarta Timur, 2 Desember 2022.
Mengapa dari kemarin harapan itu ditanamkan sebelum massa 212 terbentuk? Tanyaku dalam hati.
Sama-sama ada psikologi ketakutan. Kaum ideologi Islamis garis keras melihat kelompok lain menindas atau merugikan orang-orang Islam.
Sedangkan, kelompok di luar massa 212 melihat anti kebinekaan, intoleran, dan populis garis keras.
Tiba-tiba nanti saya disuruh “bertobat” oleh kawan lewat grup WhatsApp (WA). Mengapa saya menyerang sesama muslim, saudara sendiri? Urusan politik hingga kekerasan ujung-ujungnya “agama” dijadikan alat untuk kepentingan tertentu. Itulah faktanya.
Lantas, saya angkat obrolan ringan soal ‘politik identitas’ sebenarnya, tetapi oleh kawan dianggap serius.
Kapan massa 212 bisa “steril” dari jualan agama? Kapan massa 212 bisa “safety” dari kekerasan?
Memang terbukti, Reuni 212 berbicara di lapangan aksi damai, tertib hingga tema ‘Munajat Akbar Indonesia Bersholawat’ dihelat di Masjid At-Tin.