Bayangan itu masih ada. Disebut bayangan karena tubuh lahiriah berada di masa kini, tetapi cara berpikirnya tanpa disadari tersedot ke dalam masa lalu.
Paling tidak sosok ahli mengingatkan pada kita mengenai bayangan bernama teror. Bentuk teror bukanlah bom bunuh diri atau yang lain.
Teror yang membayangi itu lebih dekat pada teror ‘nyata’ dan ‘imajiner’. Ia masih bersifat “halus,” dalam wacana atau ide.
Bukankah dimulai dari wacana atau ide sebelum bertindak?
Bagi yang menolak, teror nyata berasal dari sebagian petinggi atau penyelenggara negara dan elite politik di negeri ini, yang mewacanakan penundaan pemilu dengan alasan tertentu.
Imajiner karena masih sebatas ide dan pikiran melayang, belum terbukti terjadi dalam dunia nyata.
Tampak tidak geram dan sedikit kesal. Sosok Zainal Arifin Mochtar, pakar tata negara yang memberi istilah “teroris konstitusi” bagi pihak yang mendukung wacana tentang penundaan Pemilu 2024.
Agar mudah teringat, dia menyarankan bahwa nama-nama yang mendukung wacana tentang penundaan pemilu mesti dicatat. “Siapa pun pelakunya, harus kita naming dan shaming sekarang. Harus berikan catatan khusus, saya cenderung menggunakan kata teroris konstitusi,” kata Zainal. Dia juga tampaknya telah mengantongi nama-nama yang dimaksud. (kompas.com, 16/03/2022)
Kosa kata atau frasa “teroris konstitusi” tanpa canda atau lelucon konyol sama persis dari pihak yang memainkan sebuah permainan masa jabatan presiden.
Secara normatif, siapa saja yang mencoba untuk mengutak-atik konstitusi dengan jalan melontarkan wacana atau ide penundaan pemilu diidentifikasi sebagai bentuk ‘teror politik’, sekalipun mereka menghadirkan berbagai data, aspirasi atau pilihan warganet lewat akun media sosial.
Anehnya, meskipun telah dihamparkan data hasil survei tentang mayoritas responden menolak penundaan pemilu di atas 60 persen.