Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) tidak mencantumkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai muatan wajib di sekolah. Hal ini pun dikritik oleh Head of Education Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CISP), Latasha Safira. Ia mengungkapkan bahwa RUU Sisdiknas tidak sejalan dengan globalisasi karena tidak mencantumkan pelajaran Bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib, secara Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa yang urgensinya semakin tinggi dari hari ke hari.
Bahasa Inggris merupakan skill dasar dan dibutuhkan hampir semua kegiatan nasional maupun internasional dan dibutuhkan hampir semua institusi saat merekrut tenaga kerja. Hal ini sangat relevan mengingat semakin dinamisnya lanskap ekonomi yang membuka peluang untuk memperluas pasar. Penelitian CIPS juga mencatat bahwa sebanyak 55% pengusaha Indonesia menawarkan pekerjaan yang lebih baik kepada pelamar dengan kemampuan bahasa Inggris yang baik, yang mencakup kenaikan gaji dan kemajuan karir yang lebih cepat. Bahasa Inggris sendiri masuk muatan wajib sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
"Kurikulum perlu responsif dengan dinamika pembangunan karena kita ingin mempersiapkan sumber daya yang berdaya saing," kritik Latasha Safira dalam siaran pers CIPS kepada wartawan, Sabtu (1/10/2022).
Oleh sebab itu, penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris akan sangat berdampak negatif terhadap kemampuan kerja siswa, terutama yang sedang duduk dibangku SMA/SMK/MA.
Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Pemerintah Indonesia tidaklah melek akan globalisasi yang semakin tinggi, terutama mengenai pengaplikasian Bahasa Inggris. Sangat disayangkan sekali, secara tidak langsung Pemerintah kita lah yang tidak dapat mendorong maju generasi muda sekarang ke arah yang lebih baik dengan kata lain, Pemerintah lah yang tidak dapat membantu pemuda pemudi Indonesia menuju "Generasi Emas".