Mohon tunggu...
Erlinawati Cahyani
Erlinawati Cahyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Siswi di SMA Negeri 1 Padalarang

Mark 5:36 ✨

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menyambut Kehilangan

29 September 2022   05:27 Diperbarui: 29 September 2022   05:39 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi yang cerah di hari Sabtu, harum nasi goreng khas buatan mama menguar memenuhi ruang makan. Aku dan adikku berebut menyendokkan nasi goreng ke dalam piring, bapak dan mama pun tertawa melihat tingkah kami. Kami berempat makan bersama sambil berbincang-bincang hangat, sehangat sinar mentari saat itu. Tawa dan canda memenuhi atmosfer ruang makan saat itu, bersama dengan santapan yang sangat lezat. Yang ada dipikiranku, hari itu adalah hari biasa yang normal tetapi tidak ada yang tahu kalau ternyata hari itu adalah awal dari sebuah perubahan hidup yang menyakitkan. Setelah sarapan bersama, aku dan adikku memilih untuk bersantai menikmati akhir pekan, mama pergi bekerja, dan bapak dirumah menjaga aku dan adikku. Bapak sendiri sudah berumur 52 tahun ditambah dengan memiliki riwayat penyakit diabetes dan darah tinggi, membuat bapak sudah tidak dapat bekerja keras seperti dulu lagi, sehingga mama yang menggantikan peran bapak.

"Lin, lagi apa nak? Bapak mau jogging dulu sebentar ya, katanya kalau sering sering olahraga bisa menurunkan kadar diabetes dalam tubuh, jadi bapak mau coba dulu ya"

"Lho pak ini sudah jam dua belas siang, bapak yakin jogging di siang bolong begini? Sepertinya tidak sehat deh pak"

"Yakin, udah kamu tenang saja ya. Jaga rumah oke"

Setelah percakapanku dengan bapak selesai, bapak langsung pergi keluar untuk jogging di siang bolong. Memakai jas hujan dengan tujuan agar keringatnya cepat keluar dan tidak memakai alas kaki. Sejujurnya aku sedikit khawatir dengan tindakan bapak saat itu, tapi aku tidak terlalu memikirkannya, toh bapak orangtua dan lebih tahu apa yang terbaik bagi dirinya. Aku lalu memilih bermain game untuk mengisi waktu luang. Tak terasa waktu berjalan, jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.45. Saat itu pula bapak kembali ke rumah dengan keadaan lelah, bapak memintaku untuk membawakan segelas air lalu meneguknya sampai habis. Selepas itu, bapak memilih untuk tidur di sofa untuk melepaskan penatnya. Dari apa yang aku lihat sebenarnya tidak ada yang janggal sama sekali saat itu. Pukul tujuh malam, mama sudah pulang dari bekerja. Aku langsung membantu mama menyiapkan makan malam. Mama sendiri terlihat lelah, maka yang lebih banyak mendominasi pekerjaan adalah aku, pun adikku ikut membantu sedikit. Makanan sudah jadi dan siap disajikan di atas meja makan, bapak yang sedang asik menonton TV pun langsung menengok ke arah kami yang sedang membawakan makanan.

"Wah, dari wanginya pasti sangat enak ini. Memang anak anak bapak berbakat dalam memasak makanan yang enak" ujar bapak memuji kami, mama yang mendengar hal itu pun hanya tertawa kecil.

Makanan sudah disajikan, selanjutnya adalah bagian yang ditunggu tunggu yaitu menyantap habis makanan tanpa sisa. Ketika sedang menyendok nasi ke dalam mulut, "PRANGGG" kudengar suara benda jatuh yang menghentikan kegiatan makan kami bersama. Sendok bapak terjatuh, oh hanya terjatuh biasa saja, namun ketika mau mengambilnya lagi sendok itu terus menerus jatuh dari genggaman tangan bapak. Kulihat tangan bapak yang bergetar entah kenapa, tidak hanya tangan tetapi diikuti oleh kepalanya. Tangan bapak kaku tidak bisa digerakan dan kepalanya terus menerus bergetar entah kenapa. Mama yang melihat kejadian itu pun buru buru menghampiri bapak, mengecek keadaannya. Tangan dan kepala bapak tidak berhenti bergetar sehingga malam itu kami membulatkan niat untuk membawa bapak ke rumah sakit demi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mama langsung menyiapkan motor, memakaikan jaket pada bapak, dan langsung menuntun bapak menuju motor. Saat itu, yang aku lihat adalah bapak yang sekujur tubuhnya mulai bergetar dan dirinya yang mulai kesulitan berbicara.

"Pak, pegangan yang kuat ya" mama mengingatkan bapak sebelum berangkat. Dengan hati yang waswas, mama pergi meninggalkan rumah menuju rumah sakit dengan tergesa-gesa. Aku dan adikku menunggu di rumah sambil memanjatkan doa. Tak sadar, air mataku mengalir jatuh ke pipi. Tuhan, aku belum siap kehilangan bapak. Satu jam, dua jam, tiga jam, masih belum ada kabar. Tuhan, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Tiba tiba telepon genggamku berdering, kutekan tombol hijau yang berfungsi untuk mengangkat panggilan.

"Lin, bapakmu harus masuk ICU. Dokter bilang kalau bapak diindikasi demam berdarah dan trombositnya sudah terlalu rendah, kadar gula dan tensi darahnya juga sangat tinggi. Kemarin tangan dan kepala bapak bergetar karena stroke ringan yang penyebabnya mungkin karena kelelahan, jadi harus dirawat di ICU agar penanganannya maksimal"

Jantungku rasanya seperti pindah ke lutut. Oh Tuhan, apakah ini salahku karena saat itu aku membiarkan bapak pergi jogging di siang hari ketika matahari sedang sangat terik, mungkin saat itu kondisi tubuh bapak sedang tidak baik tetapi dirinya memaksakan diri melakukan apa saja agar bisa segera pulih dari penyakitnya. Mataku panas, air mataku bercucuran jatuh ke ubin yang dingin, tak berhenti bahkan mungkin bisa membentuk satu bendungan besar.

Setelah mendengar kabar dari mama, besok pagi nya aku dan adikku bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya disana, mama langsung menjemput aku dan adikku lalu mengarahkan kami menuju ruang ICU. Pertama kali sampai di depan ruang ICU, hatiku sakit sekali seperti diiris iris, rasanya baru kemarin aku dan bapak masih berbincang bincang seperti biasanya. Pintu dibuka dan betapa terkejutnya aku melihat keadaan bapak saat itu. Selang selang yang membantunya untuk bernafas, untuk makan, untuk buang air kecil dan besar, selang selang yang berusaha membantunya untuk tetap hidup terpasang dimana mana. Suara mesin yang mengatur kerja selang selang itu terus terusan berbunyi nyaring, menandakan masih adanya kehidupan. Aku langsung menghampiri bapak, pelan pelan kuraih tangannya dan kubisikkan di telinganya "Pak, harus sembuh ya, harus kuat ya, ada kakak disini" Kucium tangannya sambil terisak, semua kejadian ini terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat.

Selama tiga hari, bapak berjuang hidup dengan selang selang yang menempel di setiap tubuhnya. Selama tiga hari juga mama tak henti-hentinya menangis sambil berdoa untuk kesembuhan bapak terutama masalah biaya rumah sakit karena kami tidak punya kartu BPJS, sampai mama sendiri lupa menjaga kesehatannya. Selama mama menjaga bapak di rumah sakit sambil bekerja, aku lah yang mengurus keperluan mama seperti baju yang akan dipakai dan makanan yang dibutuhkan, dengan pulang pergi dari rumah dan kembali ke rumah sakit.

Di hari ketiga, di pagi hari yang mendung, Tuhan berikan ujian kembali kepada bapak. Sejak pagi denyut jantung bapak naik turun, sampai sempat hilang kesadaran tetapi kembali lagi. Aku tak mengerti apa yang terjadi, yang kudengar dari dokter dan perawat bahwa bapak sudah tidak sanggup lagi. Entah hari ini, entah beberapa jam lagi, atau mungkin detik ini, maka dokter memutuskan berbicara dengan mama mengenai kondisi bapak yang sebenarnya. Mendengar penjelasan dokter, mama menangis. Aku yang melihat hal tersebut pun ikut menangis. Pupus sudah harapan kami bersama. Saat mama masih berbicara dengan dokter, berharap masih ada jalan keluar, suara dari mesin-mesin yang menghubungkan selang selang yang menempel pada tubuh bapak berbunyi nyaring terus menerus layaknya sirine. Dokter dan perawat yang mendengar suara itu, bergegas menghampiri bapak. Aku dan adikku diminta untuk berdiri tidak terlalu dekat agar dokter dan perawat memiliki ruang untuk menangani bapak.

Kondisi krusial, dada bapak ditekan tekan berharap denyut jantungnya kembali ada. Aku yang melihat hal itu meraung-raung berharap Tuhan mendengar seruan dan teriakan doa ku. Mama menangis di sebelah bapak. Tidak ada respon dari bapak, hanya satu jalan akhir yaitu menggunakan alat kejut jantung. Satu kali, tidak ada respon. Dua kali, masih tidak ada respon. Tiga kali dan yang terakhir, tidak ada respon sama sekali. Mama mengguncang-guncang tubuh bapak, dokter dan perawat berusaha menahan mama. Mesin mesin itu mengeluarkan suara nyaring datar, tanda pasien sudah meninggal. Sebelum bapak menutup mata untuk terakhir kalinya, bapak mengangkat tangannya seperti ketika hendak menyalami. Itu adalah salam terakhir dan tanda perpisahan bapak kepada kami. Aku, mama, dan adikku menyalami tangan bapak yang sudah dingin dan akhirnya bapak menghembuskan nafas terakhirnya. Raungan dari mama terdengar sampai ke koridor ICU, tentu sakit sekali rasanya ketika kehilangan orang yang bersama kita selama bertahun-tahun. Aku terdiam membeku di sudut ruangan. Air mataku habis, aku tak menyangka akan secepat ini kehilangan bapak di umur lima belas tahun, disaat sebentar lagi aku menginjakkan kaki di sekolah SMA.

Malam itu, bapak dimandikan dan langsung dimasukkan ke peti. Senyum manis menghiasi wajah bapak untuk terakhir kalinya. Besok pagi nya, bapak dimakamkan di pemakaman umum dekat dengan rumahku.

Bapakku adalah bapak yang baik, bapak yang hebat, bapak yang selalu menyayangi keluarganya. Setelah rentetan kejadian itu, kehidupanku sudah tidak seberwarna dulu. "Seperti tulang yang patah dan tumbuh tidak sempurna" untuk tersenyum pun rasanya berat sekali. Sekarang aku hanya hidup bertiga; mama, aku, dan adikku. Kami bersama sama bergandeng tangan hidup dengan baik, berusaha ikhlas dan tabah agar bapak juga bahagia melihat kami dibawah sini dari atas sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun