Mohon tunggu...
erlin novita idje djami
erlin novita idje djami Mohon Tunggu... Ilmuwan - peneliti arkeologi

Jayapura, Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warisan Budaya Suku Hubula: Pengenalan Jati Diri, Pelestarian, dan Pemanfaatannya

16 Januari 2020   21:56 Diperbarui: 16 Januari 2020   22:14 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pemukiman orang Balim/Suku Hubula, Kab.Jayawijaya (dokpri)

Sebelum pembahasan lebih jauh tulisan ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa warisan budaya secara umum dimaksudkan sebagai hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu yaitu nilai-nilai keunggulan dari budaya lokal.

Kata lokal di sini tidak mengacu pada wilayah geografis, dengan batas-batas administratif, tetapi lebih mengacu pada wilayah budaya yang seringkali melebihi wilayah administratif dan juga tidak mempunyai garis perbatasan yang tegas dengan wilayah budaya lainnya. Kata budaya lokal juga bisa mengacu pada budaya milik penduduk asli yang telah dipandang sebagai warisan budaya.

Menurut Galla (2001), warisan budaya fisik (tangible heritage) diklasifikasikan menjadi warisan budaya tidak bergerak seperti situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunan kuno dan/atau bersejarah, patung-patung pahlawan, dan warisan budaya bergerak seperti artefak, karya seni, arsip, dokumen, dan foto, karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video, dan film.

Berdasar tinjauan lapangan didukung data literatur, ternyata di wilayah Kabupaten Jayawijaya yang beribukota Wamena dan sebagian besar didiami Suku Hubula, ditemui beragam warisan budaya dalam berbagai bentuknya antara lain:

Warisan budaya tidak bergerak:

Situs seni cadas di tebing Suroba, Situs seni cadas di Gua Lokale, dan Situs seni cadas di Gua Togece. Lukisan-lukisan pada situs-situs tersebut menggambarkan suatu karya seni nenek moyang yang menampilkan objek-objek lukisan berupa cap tangan, burung, ular, kadal, kodok, noken, kapak batu, dan geometris, lukisan-lukisan tersebut memiliki keterkaitan erat dengan lingkungan alam, perilaku budaya dan kepercayaan masyarakat.

Situs batu asah di Hitigima (Asotipo), Situs batu asah di Manowa (Pugima), Situs batu asah di Bukit Watiwaga, Situs batu asah di Pumo, dan Situs batu asah di Tagatni (Bolakme), adalah berupa bongkah-bongkah batu maupun batu alam yang pada bagian permukaannya terdapat sejumlah besar cekungan-cekungan bebentuk lonjong sebagai bekas mengasa kapak batu.

Situs Telaga Biru di Maima, Situs Seinma di Kurima, dan Situs Gua Wesagaima di Pugima, ketiga situs tersebut diyakini sebagai pusat keluarnya para leluhur suku Hubula yang kemudian menyebar dan mendiami kawasan lembah Balim dan sekitarnya.

Situs Danau Habema atau Yuguninyopa yang berarti semua punya leluhur.

Situs Mokat Ake di Hitigima yaitu berupa pagar batu yang berfungsi sebagai jalan arwah orang mati ketika upacara penghantaran arwah ke wakunoakma yaitu suatu tempat yang menjadi pusat persekutuan dengan roh orang mati.

Situs Gua Kontilola di Kurulu yaitu situs hunian masa lampau.

Situs Gua Lokale selain terdapat seni cadas di gua ini juga dijadikan sebagai tempat penguburan.

Situs Gua Togece di kampung Parema yaitu situs hunian gua yang di dukung oleh temuan berupa alat serpih dari batu maupun cangkang kerang sungai kelas bivalvia, famili Corbiculidae (Freshwater) jenis Batissa sp.  Cangkang kerang ini merupakan kerang sungai yang umumnya hidup di sungai-sungai yang dekat dengan laut sebagai habitatnya, serta sampah tulang binatang dan lapisan sedimen bekas pembakaran.

Situs Gua Alilibu di Kampung Wosiala yaitu gua hunian dan juga berfungsi sebagai gua persembunyian ketika perang suku terjadi.

Warisan budaya bergerak:

Kapak lonjong adalah salah satu bentuk benda budaya yang sudah dikenal sejak periode prasejarah yaitu pada masa neolitik 10.000 tahun lalu, budaya ini banyak dijumpai di seluruh wilayah Papua, sehingga budaya ini disebut juga dengan istilah neolitikkum Papua. Kapak lonjong memiliki fungsi sebagai alat potong kayu dan juga untuk potong jari ketika kedukaan terjadi. Selain itu kapak lonjong ini juga difungsikan juga sebagai maskawin.

Kaneke atau benda keramat yang merupakan simbol nenek moyang, benda ini pada setiap suku memiliki bentuk masing-masing dan benda ini masih disakralkan dan hanya dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu saat upacara pemandian untuk suatu tujuan atau keadaan tertentu.

Ye adalah benda berupa batu hitam berbentuk lonjong pipih dan panjang, benda ini merupakan alat pembayaran maskawin atau bayar kepala.

Noken (su) yaitu tas jaring yang memiliki beragam ukuran dan fungsi. Noken merupakan benda budaya khas Papua dan saat ini telah menjadi salah satu warisan budaya dunia tak benda. 

Manik-manik kulit kerang (sal/kauri) yaitu dari jenis kerang Cypraeya moneta, jenis kerang ini berasal dari pesisir pantai yang kehadirannya di pedalaman sebagai akibat dari kontak budaya berupa perdagangan dengan pola barter. Sal berfungsi sebagai alat pembayaran dan juga sebagai perhiasan.

Mumi adalah salah satu karya budaya dalam pengawetan sejumlah tokoh-tokoh yang dipandang memiliki status tertentu dalam masyarakat dan kehadirannya diharapkan terus ada, sehingga ketika tokoh tersebut wafat maka tubunhnya tidak dibakar tetapi dimumikan atau diawetkan, ada beberapa mumi yang dapat kita jumpai di Jayawijaya yaitu Mumi Jiwika, Mumi Pumo, Mumi Araboda, dan Mumi Aikima. Mumi-mumi tersebut diproses secara tradisional dengan pengasapan.


Benda-benda tradisi budaya:

Peralatan hidup sehari-hari seperti tugal, isoak (tempat air atau juga tempat arwah)

Pakaian dan perhiasan : koteka (pakaian laki-laki), sali dan yokal (pakaian perempuan), noken, hiasan kepala, hiasan hidung, hiasan tangan, dan kalung

Alat musik pikon

Peralatan perang seperti busur -- panah, tombak, tongkat komando

Kampung tradisional yang di dalamnya terdapat rumah/bangunan honai, ebeai, hunila, dan wamdabula yang semuanya berkontruksi kayu, rumput dan alang-alang

Tradisi bercocoktanam dengan pola bedeng

Tradisi memasak makanan dengan cara bakar batu

Pesta babi (wam awe) yang di dalamnya memuat banyak ritual adat seperti himiyokal, Apwaya, bayar denda-denda adat, bayar mas kawin, penyucian benda-benda sakral (kaneke).

Peninggalan budaya maupun benda-benda tradisi budaya suku Hubula seperti disebutkan di atas merupakan hasil karya intelektual nenek moyang mereka dalam kerangka beradaptasi terhadap lingkungan alamnya, yang telah memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta telah menata lingkungan alam menurut pandangan kearifan mereka.

Pada sisi lain,  benda-benda budaya tersebut menggambarkan bagaimana hubungan sosial budaya masyarakat, bentuk kepercayaan, pola kerja, dan karya seni serta perjalanan sejarah manusia suku Hubula. Bangunan dan artefak baik yang kuno maupun tradisi merupakan sisa-sisa kegiatan manusia yang dengan sengaja ataupun yang tanpa sengaja ditinggalkannya dapat memberi pandangan terhadap cara manusia memandang maupun mengatur hidupnya (Magetsari, 2016).

Melalui karya-karya budaya tersebut, kita dapat menggali dan mengungkapkan nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang yang telah melampaui suatu proses perjalanan sejarah yang sangat lama dan panjang, sehingga nilai-nilai tersebut telah berurat dan berakar dalam kehidupan masyarakat pendukungnya sebagai indentitas atau jatidirinya.

seni cadas di Gua Kontilola (dokpri)
seni cadas di Gua Kontilola (dokpri)
Nilai-Nilai Budaya Suku Hubula

Masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang merupakan dinamika kehidupan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Manusia masa lampau telah meninggalkan berbagai bentuk benda budaya sebagai hasil cipta rasa dan karsa mereka, dan tinggalan budaya tersebut pada masa kini disebut warisan budaya yang mengandung nilai-nilai penting dalam perkembangan manusia.

Karena kebudayaan berintikan nilai-nilai dan gagasan dimana segala tingkah laku manusia serta benda-benda yang dihasilkan maka tujuan manusia menciptakan kebudayaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan dalam hal ini mencakup seluruh kebutuhan jasmani dan rohani manusia seperti kebutuhan akan makan-minum, rasa aman, penghargaan terhadap martabat manusia, rasa keadilan, kebebasan mengaktualisasikan diri, berkarya dan lainnya.

Memaknai warisan budaya dan tradisi budaya suku Hubula yaitu dengan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam setiap benda budaya yang ada, karena kehadiran setiap benda budaya tentunya dilandasi oleh suatu kebutuhan manusia baik yang bersifat individu maupun sosial.

Menggali nilai-nilai penting yang terdapat dalam suberdaya budaya tersebut sehingga dapat diaplikasikan dan disumbangkan baik bagi ilmu pengetahuan, pembentukan jatidiri, kepentingan ekonomi maupun kepentingan yang lebih luas lainnya, karena setiap kelompok masyarakat ingin mempertahankan identitas kulturalnya.

Budaya sebagai wujud dari hasil aktivitas manusia masa lalu, merupakan warisan nenek moyang yang perlu dipahami arti dan makna yang terkandung di dalamnya, selain sebagai bukti sejarah dapat pula berfungsi sebagai media untuk memupuk kepribadian sekaligus dapat berperan dalam peningkatan apresiasi nilai budaya khususnya dalam pembangunan bangsa. 

Benda-benda budaya tinggalan nenek moyang memiliki peranan yang sangat penting pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, karena benda-benda tersebut memiliki arti dan nilai penting  bagi pembentukan jatidiri yang bermanfaat bagi kepentingan bersama dan menggalang persatuan dan kesatuan (Badra, 2002).

Di samping itu, warisan budaya atau benda budaya disebut juga sebagai pusaka budaya bangsa yang kita miliki dan dapat dijadikan kebanggaan bangsa, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai religi yang tercermin pada benda-benda kaneke, mumi, situs keluarnya nenek moyang, dan jalan arwah; 

Nilai musyawarah seperti dalam kerangka pembangunan kampung adat; nilai kerjasama/gotong royong seperti tercermin dalam pembangunan rumah-rumah adat, pengolahan lahan; 

Nilai kebersamaan atau persatuan dan kesatuan dalam kampung maupun dalam kelompok sosial, nilai teknologi tercermin pada benda-benda peralatan hidup seperti kapak batu, busur panah, tombak, perhiasan dan lainnya, 

Nilai toleransi seperti dalam pelaksanaan upacara wam awe; nilai estetika seperti tercermi pada seni cadas maupun asesoris tubuh dan lain sebagainya yang semuanya sebagai sumberdaya budaya suku Hubula sekaligus mengandung nilai dan makna simbolis, informatif, estetika, dan ekonomis. 

Pelestarian Budaya Suku Hubula

Keberagaman wujud warisan budaya lokal suku Hubula tersebut memberikan gambaran bahwa kearifan lokal banyak berperan dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Masalahnya kearifan lokal tersebut jangan sampai diabaikan, atau dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan.

Jika warisan budaya tersebut tidak dilestarikan, dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya.

Tentunya kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang, kaya dengan keanekaragaman budaya lokal sudah selayaknya untuk melestarikan warisan budaya yang ada. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah.

Melestarikan dalam hal ini berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. upaya pelestarian warisan budaya lokal berarti pula sebagai upaya memelihara warisan budaya lokal untuk waktu yang sangat lama. Perlu dikembangkan pelestariannya sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable), dan agar pelestarian dapat bertahan serta berkembang perlu didukung oleh masyarakat luas.

Perlu dipahami bahwa pelestarian harus berbasis pada kekuatan dalam, kekuatan lokal, kekuatan swadaya. Ini penting karenanya sangat diperlukan penggerak, pemerhati, pecinta dan pendukung dari berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu perlu ditumbuh kembangkan motivasi yang kuat tergerak berpartisipasi melaksanakan pelestarian, antara lain:

Pertama, motivasi untuk menjaga, mempertahankan dan mewariskan warisan budaya yang diwarisinya dari generasi sebelumnya; Kedua, motivasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan generasi penerus bangsa terhadap nilai-nilai sejarah kepribadian bangsa dari masa ke masa melalui pewarisan khasanah budaya dan nilai-nilai budaya secara nyata yang dapat dilihat, dikenang dan dihayati; Ketiga, motivasi untuk menjamin terwujudnya keragaman atau variasi lingkungan budaya.

Keempat, motivasi ekonomi yang percaya bahwa nilai budaya lokal akan meningkat bila terpelihara dengan baik sehingga memiliki nilai komersial untuk meningkatkan kesejahteraan pengampunya; dan Kelima, motivasi simbolis yang meyakini bahwa budaya lokal adalah manifestasi dari jatidiri suatu masyarakat sehingga dapat menumbuhkembangkan rasa kebanggaan, harga diri/martabat dan percaya diri yang kuat.

Pemanfaatan

Membincang kebudayaan dalam bentuk-bentuk artefak dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti telah dipaparkan secara menyeluruh di atas, maka sesungguhnya tidak pula terlepas dari aspek normatif yang melandasinya. Dalam hal ini pemanfaatan, pelestarian dan pengelolaannya telah dijamin oleh aturan hukum.

Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, disebutkan pada Pasal 91 menyebutkan: Pemanfaatan koleksi berupa Cagar Budaya di museum dilakukan untuk sebesar-besarnya pengembangan pendidikan,ilmu pengetahuan, kebudayaan, sosial, dan/atau pariwisata.

Sedangkan Pasal 53 Ayat (1) menyebutkan: Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif. Ayat (2) menyebutkan: Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.

Bagaimanapun, budaya lokal suku Hubula yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang layak  diketahui, diungkap nilai-nilainya, diwujudkan dalam kehidupan sebagai gambaran jatidiri, dilestarikan dan dimanfaatkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakatnya.

Referensi:

Galla, Amareswar. 2001. Guidebook for the Participation of Young People in Heritage Conservation. Brisbane: Hall and jones Advertising.

Badra, I Wayan. 2002. Nilai Tinggalan Arkeologis sebagai Pemersatu Bangsa. Dalam manfaat Sumberdaya Arkeologi untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Penerbit PT Upada Sastra.

Magetsari, Noerhadi. 2016. Perspektif Arkeologi Masa Kini dalam Konteks Indonesia. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun