Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keutamaan Hewan Qurban Bagi Pengqurban

2 Juli 2022   18:03 Diperbarui: 2 Juli 2022   18:12 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika seorang hendak berqurban entah sapi atau kambing, kami selalu mendengar entah dari ceramah seorang muballig atau dari masyarakat, kalau hewan qurban yang akan disembelih nanti akan menjadi hewan tunggangan pengqurban kelak ketika di akhirat. Banyak dari mereka beranggapan kalau itu bersumber dari hadits nabi.

Bahkan saya pernah mendapat pesan whatsapp dari ibu saya, kalau salah seorang tetangga yang akan berqurban lebih memilih berqurban menggunakan kambing daripada sapi. Dia beralasan kalau kambing, yang berqurban sendiri. Tidak perlu urunan seperti halnya sapi hingga tujuh orang. Kalau dia berqurban dengan kambing, nanti kambing itu bisa jadi kendaraannya di akhirat. Entah dia dapat informasi darimana yang jelas hal ini perlu kita luruskan.

Perintah berqurban memang terdapat dalam Q.S. Al-Kautsar ayat 2. Ibnu Katsir ketika menjelaskan makna ayat ini maksudnya ialah sebagaimana Allah swt telah memberikan kebaikan yang banyak di dunia maupun di akhirat.

Oleh karena itulah, Allah swt memerintahkan dalam ayat 2 ini untuk menyembah-Nya dengan mengerjakan shalat dan berqurban dengan menyebut nama-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Al-An'am ayat 162-163 yang berbunyi:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَْا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَْ

Artinya: Katakanlah, "Sesungguhnya salatku, ibadahku. hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)."[1]

Ada banyak hadits yang berbicara mengenai qurban. Namun yang akan kami bahas dalam tulisan kali ini mengenai hadits tentang hewan tunggangan pengqurban kelak di akhirat nanti yang mana hadits ini cukup masyhur. Bunyi haditsnya adalah:

عَظَّمُوْا ضَحَايَاكُمْ; فَإنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَكُمْ

 Artinya: Perbaguslah hewan qurban kalian, maka sesungguhnya ia menjadi hewan tunggangan kalian melewati shirath  

Hadits ini juga terdapat dalam Musnad Ad-Dailami dari jalur sanad Ibnu Mubarak dari Yahya bin Ubaidillah bin Muwahhab dari ayahnya dari Abu Hurairah r.a. dengan lafadz namun memiliki arti yang sama:

[2] اسْتَفْرَهُوْا ضَحَايَاكُمْ; فَإنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَكُمْ 

Walaupun keduanya memiliki pemaknaan yang sama dalam kata  dan  yang berarti perbaguslah.[3] Hanya saja, ada seorang perawi yang dinilai bermasalah oleh para kritikus hadits, yakni Yahya bin Ubaidillah bin Muwahhab.

Ibnu Sholah mengatakan bahwa  hadits ini tidak diketahui dan tidak kokoh. Ibnu Al-Arabiy juga telah menunjukkan dalam kitab Syarah At-Tirmidzi bahwa tidak ada hadits shahih yang menunjukkan keutamaan bagi hewan-hewan qurban.[4]

 

Yahya bin Ubaidillah bin Muwahhab

Nama aslinya ialah Yahya bin Ubaidillah bin Abdullah bin Muwahhab at-Taimi al-Madani. Ia meriwayatkan hadits dari ayahnya. Sementara orang yang meriwayatkan hadits darinya yaitu Abdullah bin Al-Mubarak, Fudhoil bin Iyadh, Isa bin Yunus.

Para ulama banyak memberikan penilaian negatif terhadapnya. Abu Hatim mengatakan bahwa Sufyan bin Uyainah telah mendhoifkannya. Imam Bukhori bahkan meninggalkan riwayat haditsnya. Ibnu Abi Maryam dari Ibnu Main berkata bahwa dia tidak menuliskan haditsnya. Abu Dawud ketika bertanya kepada Imam Ahmad tentang Yahya bin Ubaidillah, maka Imam Ahmad berkata bahwa hadits-haditsnya munkar. Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata dia bukan orang yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.[5]

 

Kesimpulan

Sebagaimana dijelaskan oleh Mahmud ath-Thahan (Mahmud ath-Thahan, 2010: 190-191) bahwa ada tingkatan penilaian Jarh terhadap rawi dan lafadz-lafadznya, yaitu:

  1. Tingkatan pertama, lafadz yang menunjukkan kelunakan seperti penilaian fulan layyinul hadits (fulan haditsnya lunak) atau fihi maqolun (diperbincangkan di dalamnya).
  2. Tingkatan kedua yakni lafadz yang dijelaskan dengan ketiadaan hujjah di dalamnya dan keserupaannya seperti contoh fulan la yuhtaju bihi (fulan tidak dapat dijadikan hujjah), dhoif (lemah), lahu manakir (ia haditsnya munkar)
  3. Tingkatan ketiga yaitu lafadz yang menunjukkan haditsnya tidak bisa ditulis seperti contoh fulan la yuktabu haditsuhu (fulan tidak ditulis haditsnya), la tahillu al-riwayatu anhu (tidak halal riwayat darinya), dhoif jiddan (sangat lemah), wahn bimarratin (orang yang sering melakukan persangkaan)
  4. Tingkatan keempat yakni lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta seperti saqithun (gugur), matruk (ditinggalkan) atau laisa bi tsiqotin (bukan terpercaya)
  5. Tingkatan kelima yakni lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta seperti kadzab (pendusta), wadla' (pemalsu), atau yadla'u (pembuat hadits palsu).
  6. Tingkatan keenam yaitu lafadz yang menunjukkan mubalaghah (tingkatan amat berat) dalam perbuatan dusta seperti fulan akdzabu an-nas (fulan paling pendusta), ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia merupakan orang yang pangkalnya dusta), huwa ruknu al-kadzbi (dia penopang dusta).

Dari tingkatan tadi, menurut Mahmud ath-Thahan, tingkatan pertama dan kedua tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Namun bisa ditulis haditsnya dan menjadi pelajaran. Maka jelas hadits yang menunjukkan adanya keutamaan bagi pengqurban akan menaiki kendaraan hewan yang dijadikan qurban ketika di akhirat nanti tidak bisa kita jadikan hujjah. Tetapi bisa kita jadikan pelajaran. Hal ini karena ada seorang perawi yang dinilai oleh para kritikus hadits dengan penilaian yang memenuhi tingkatan kedua jarh.

Oleh karena itulah, jika kita menyampaikan hadits ini dalam sebuah forum, ceramah ataupun tabligh harus dijelaskan bahwa hadits ini dhoif dengan dijelaskan kedhoifannya. Namun bisa menjadi dorongan agar semangat untuk berqurban dengan menjelaskan bahwa hadits ini dhoif.

Catatan Kaki

  1. Abu al-Fida' Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Quranul Adzim, juz 8, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), hlm. 476.
  2. Syirawaih bin Syahradar bin Syirawaih ad-Dailami Abu Syuja'. Al-Firdaus bi al-Ma'tsur al-Khithab, juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1986), hlm. 85.
  3. Muhammad Abdurrahman as-Sakhawi, Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayan Katsir min al-Ahadits al-Musytahirah ala Sunnah , cet. ke-1, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1985), hlm. 114.
  4. Abu Fadhl Syibabuddin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi'i, Talkhis Al-Habir fi Takhrij Ahadits Ar-Rafi' Al-Kabir, hlm. 250-251.
  5. Abu Fadhl Syibabuddin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi'i, Tahdzib at-Tahdzib, juz 11, cet.ke-1, (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami), hlm. 253.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun