Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kembali ke Al-Quran dan Hadits?

12 Februari 2021   22:25 Diperbarui: 30 April 2022   08:45 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baik, ini adalah tulisan pertama saya yang mungkin temanya agak berbeda dibandingkan dengan tulisan sebelumnya. Kalau sebelumnya, saya lebih cenderung ke tema sosial, kali ini saya akan menulis dengan tema agama. Jelas, agama Islam tentunya.

Istilah kembali ke Al Quran dan Hadits cukup menjadi perbincangan yang hangat di tengah masyarakat kita. Bahkan istilah ini cukup familier hingga ke media sosial. Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita perlu mengetahui apa sih Al Quran itu? Apa sih Hadits itu?

Syekh Sholih Al-Utsaimin, seorang ulama masyhur dari tanah Arab dalam kitabnya Ushul fi Tafsiri menjelaskan dengan gamblang mengenai definisi Al-Quran sendiri. Al Quran berasal dari fi'il madhi (dalam bahasa Arab adalah kata kerja bentuk lampau), yakni قرأ berarti membaca. Kata قرآن  merupakan bentuk mashdar jama' dari قرعا.

Secara syar'i, menurut Syekh Sholih Al-Utsaimin, Al Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. melalui malaikat Jibril yang dibuka dengan Surat Al Fatihah dan ditutup dengan Surat An-Naas. Sebagaimana firman Allah ta'ala dalam Q.S. Al-Insan ayat 23 yang berbunyi:

إنًّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيْلَا

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu (hai Muhammad) Al-Quran secara berangsur-angsur

Lalu, kita berlanjut menjelaskan pengertian Hadits. Para ulama menjelaskan bahwa hadits adalah apa yang disandarkan kepada nabi baik dari perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan) atau sifat penciptaan .(وصف خلقي) Hadits, Khabar, dan sunnah memiliki kesamaan makna. Hanya saja, khabar lebih bersifat umum dan datangnya bisa bukan dari nabi.

Dengan telah berakhirnya pencatatan hadits dan dilakukannya kodifikasi atas hadits-hadits nabi oleh para ulama hadits seperti Imam Al-Bukhori, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, Abu Dawud, Imam An-Nasa'i dan lain sebagainya, maka selesailah periwayatan hadits itu. Tentu, ulama di zaman sekarang, jikalau mereka ingin mengambil dalil hadits yang shohih, haruslah merujuk kepada kitab-kitab hadits para ulama hadits terdahulu.

Bahkan para ulama sudah mengklasifikasikan daftar kitab hadits yang paling shohih hasil periwayatannya dan berhak jadi rujukan oleh para ulama. Semuanya itu termaktub dalam Kutubus Sittah (kitab-kitab enam). Walaupun ada juga tambahan hingga akhirnya menjadi Kutubu Tis'ah (kitab-kitab sembilan), yakni:

1. Shohih Bukhori

2. Shohih Muslim

3. Sunan Abu Dawud

4. Sunan At-Tirmidzi

5. Sunan An-Nasa'i

6. Sunan Ibnu Majjah

7. Musnad Ahmad bin Hanbal

8. Sunan Ad-Darimi

9. Al-Muwaththo' karya Imam Malik

Seperti yang kita tahu, semua petunjuk dalam agama Islam tertulis secara jelas dalam Al-Quran dan Hadits. Hanya saja, yang bisa memahami maksud Al-Quran dan Hadits hanyalah Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabat. Karena keduanya ada ketika mereka hidup.

Setelah nabi dan para sahabat wafat, wilayah Islam semakin luas dengan berbagai perbedaan sosial budaya serta berkembangnya zaman menjadikan persoalan menjadi semakin kompleks. Tidak semua orang mampu memahami apa yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits. Semua permasalahan itu tak semuanya secara tekstual ada di dalam Al-Quran dan Hadits.

Inilah perlunya para ulama untuk melakukan ijtihad dengan melakukan penelitian dan pengkajian dalam ayat-ayat Quran dan hadits nabi sehingga makna yang terkandung di dalamnya, bisa dipahami oleh orang-orang di masa setelahnya hingga kini. Maka, makna yang terkandung dalam nash (Al-Quran dan Hadits) tidak menjadi dipahami secara kaku.

Seperti contoh dalil tentang zakat fitrah menggunakan beras dan takaran 2,5 kg. Bila kita cari sumber hukum dari Al-Quran dan Hadits. Maka kita tidak akan menemukan dalil demikian. Yang ada, kita akan temukan dalil zakat fitrah menggunakan satu sho' kurma dan gandum dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori di kitab Shohih Bukhori dalam bab kewajiban shadaqah fithri sebagai berikut:

حدثنا يحي بن محمد بن السكن حدثنا محمد بن جهضم حدثنا إسماعيل بن جعفر عن عمر بن نافع عن أبيه عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : "فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من تمر أو صاعا من شعير على العبد و الحرِّ و الذكر و الأنثى و الصغير و الكبير من المسلمين , وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة"

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin Sakkani, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdhomin, telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far, dari Umar bin Nafi', dari ayahnya, dari Ibnu Umar r.a. dia berkata: "Rasulullah s.a.w. mewajibkan zakat fithrah satu sha' kurma atau satu sha' keju atas hamba dan yang merdeka dan laki-laki dan perempuan dan anak-anak dan dewasa dari golongan muslim, dan beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum berangkatnya manusia ke sholat Ied." [1]

Bagaimana ulama bisa memperoleh kesimpulan hukum zakat beras?

Jawabannya, mereka menggunakan metode qiyas, yakni mengambil kesimpulan hukum dengan cara menganalogikan sesuatu yang memiliki nilai yang setara dengan yang tertera dalam nash (Al-Quran dan Hadits).

Dalam hal ini, para ulama menyimpulkan bahwa beras memiliki nilai yang setara dengan kurma atau keju. Karena kurma atau keju adalah makanan pokok bagi masyarakat Arab saat itu. 

Masyarakat Asia Tenggara khususnya Indonesia, makanan pokoknya adalah beras. Maka tidak mungkin kita harus sesuai dengan Hadits berzakat menggunakan kurma ataupun keju.

Untuk satu sho' sendiri, kita harus mengerti dahulu, bagaimana takaran satu sho' itu pada masa nabi hidup lalu disesuaikan takarannya dengan hitungan di zaman sekarang. 

Tentunya, kita harus merujuk pada para ulama yang memiliki kapabilitas menjelaskan makna hadits ini. Apalagi, di zaman nabi hidup, belum ada alat ukur timbangan seperti kita sekarang, bahkan ilmu matematika pun belum ada.

Kita bisa membaca dari kitab karya Ibnu Hajar Asqolani berjudul Fathul Bari yang menjelaskan kitab Shohih Bukhori. Lalu, ada kitab karya Imam Nawawi yang menjelaskan kitab Shohih Muslim, dan masih banyak lagi kitab-kitab karya ulama yang menjelaskan hadits-hadits nabi.

Untuk menguasai ilmu hadits, ada ilmu dan kaidah yang harus dikuasai. Selain ilmu bahasa arab, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan ilmu balaghah, harus menguasai setidaknya 3 ilmu bantu, antara lain:

  1. Mustholah Hadits, yakni ilmu yang mempelajari berbagai seluk beluk istilah dalam hadits mulai dari sanad, matan, rawi, jarh wa ta'dil, bagaimana hadits bisa dikatakan shohih, hasan, dhoif, lalu pembagian hadits dhoif yakni munkar, mursal, maudhu', dirayah dan riwayahnya hadits.
  2. Takhrijul Hadits, yakni ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang bisa mengidentifikasi bagaimana hadits ini bisa dikatakan shohih, hasan, dhoif, dilihat dari segala sisi mulai dari perawinya siapa, sanadnya, dan matan. Lalu apakah suatu teks berasal dari hadits nabi atau bukan.
  3. Thuruqul Fahmil Hadits, yakni ilmu yang mempelajari tata cara dan kaidah khusus dalam memahami suatu teks hadits apakah hadits shohih ini bisa serta merta diamalkan, apakah semua hadits shoif bisa langsung ditolak, apakah hadits ini berkenaan dengan budaya lokal Arab saja ataukah berkenaan dengan syariat sehingga bisa diamalkan.

Itulah makannya, sebagai sumber hukum, umat Islam tidak melulu hanya manut saja dengan Quran dan Hadits, tetapi ada juga Ijma' (kesepakatan) dan Qiyas (analogi). Dua hukum ini (Ijma' dan Qiyas) adalah hasil dari ijtihad para ulama terhadap Al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum utama.

Hasil ijtihad para ulama tentu dampaknya menghasilkan pendapat yang berbeda-beda. Karena ia adalah hasil dari penelitian ilmiah para ulama. Jangankan hasil ijtihad. Hasil penelitian sejarah dengan tujuan yang sama saja, bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda di kalangan peneliti. Apalagi ini ulama lho!

Nah, kita kembali lagi. Ijtihad tadi, mengakibatkan timbulnya para mujtahid Islam di masa lampau yang menimbulkan berbagai madzhab. Sayangnya, yang kita kenal saat ini hanya 4 madzhab yang dipakai oleh umat Islam di seluruh dunia: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.

Sebenarnya ada mujtahid lain yang derajat keilmuannya setara dengan mereka. Namun karena hasil pemikiran mereka tidak diteruskan oleh murid mereka, akhirnya, hanya bertahan beberapa abad saja. Bahkan ada yang cuma bertahan ketika mereka hidup saja. Sebut saja Imam Laits bin Sa'ad dari Mesir. Dia hidup semasa dengan Imam Malik. Keduanya sering bertukar pikiran dan berdiskusi tanpa adanya saling menyalahkan. Ada lagi Imam Sufyan Ats-Tsauri. Bisa dibilang, dia hidup pada masa tabi'in. Lalu ada juga madzhab Dzahiri, dimana salah satu pengikutnya adalah Ibnu Hazm Al-Andalusia.

Para mujtahid ini, hidup sebelum Imam Bukhori ada. Mereka juga seorang ahli hadits juga. Kitab mereka dijadikan rujukan oleh umat Islam dalam mengambil hadits dari nabi saat itu, karena belum adanya kodifikasi oleh para ulama. Sebut saja kitab musnad Abu Hanifah karangan Imam Abu Hanifah (madzhabnya Hanafi), lalu musnad Imam Syafi'i.

Lalu mengapa kitab hadits mereka tidak termasuk dalam kutubu tis'ah kecuali kitab Imam Malik dan kitab musnad Imam Ahmad? Padahal, hadits yang mereka riwayatkan merupakan hasil penelitian yang shohih?

Jawabannya adalah, para ulama tentu sudah memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan kitab hadits mana diantara kitab-kitab ulama yang benar-benar shohih atau paling valid hasil penelitian dan periwayatannya. 

Dari hasil penelitian para ulama terhadap kitab-kitab itu, dipilihlah paling tervalid diantara yang tervalid lalu diurutkan berdasarkan derajat kevalidan sumber riwayat hadits itu.

Hasil ijtihad para ulama yang berbeda-beda, tidaklah bermaksud untuk memecah belah umat Islam. Perbedaan itulah yang menjadi warna bagi Islam. Sehingga menjadi sebuah cara pandang yang menarik bila didalami secara ilmiah melalui disiplin ilmu keislaman.

Lalu bagaimana orang awam menghadapi persoalan perbedaan madzhab ini? Mana yang harus diikuti?

K.H. Hasyim Asy'ari dalam kitabnya yang berjudul Risalah Ahlu Sunnah wal Jama'ah mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama, adalah suatu hal yang wajar selama itu masih dalam ranah perbedaan fiqh. 

Maka, orang awam atau orang yang belum mampu berijtihad sekalipun ia mampu mempelajari sejumlah ilmu untuk instrumen ijtihad harus mengikuti pendapat ulama yang ahli ijtihad, yakni mengikuti pendapat salah seorang imam mujtahid. Hal inilah yang dilakukan pula oleh Imam Al-Bukhari dengan bermadzhab kepada Imam Syafi'i. Lalu Syekh Abdul Qadir al-Jaelani bermadzhab Hanbali.[2]

Orang awam tidak harus selalu mengikuti  madzhab tertentu di seluruh kondisi seperti mengikuti madzhab Imam Syafi'i. Tapi boleh mengikuti pendapat dari madzhab lain, selama ia tidak bermaksud untuk mencampur adukkan madzhab seenaknya yang ia anggap ringan atau istilahnya yakni talfiq.

Seringkali, kita temukan para penuntut ilmu di zaman sekarang yang baru belajar ilmu agama adalah seringnya mereka mengutip ayat-ayat Al-Quran maupun Hadits dengan pemahaman secara tekstual lalu disebarkan ke orang lain tanpa ilmu yang memadai, menghakimi orang lain, dan berfatwa seenaknya sendiri. 

Kalau sudah gini, jelas merusak hubungan persaudaraan antar umat. Apalagi, berani menghakimi kesalahan guru yang pernah ia belajar darinya.

Sebenarnya, dalam hal ini, sah-sah saja tiap orang yang telah mempelajari ilmu agama berdakwah kepada orang lain selama ia tidak memberikan fatwa dan kesimpulan hukum sendiri tanpa pemahaman ilmu yang memadai. Sehingga tidak menyesatkan umat.

Penting bagi kita, untuk selalu menjaga ukhwah Islamiyyah di kalangan setiap umat muslim tanpa adanya sikap saling membenarkan sendiri.

Sumber

1. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Dari al-Ibnu Katsir, 2002), hlm. 366.

2. Muhammad Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah, hlm. 18-19

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun