Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Mana Para Aktivis, Apa Kabarmu, Kok Diam Saja?

26 Februari 2018   13:29 Diperbarui: 26 Februari 2018   13:49 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diikuti dengan naiknya harga sembako, sepertinya sudah cukup untuk "membunuh" pelan-pelan mayoritas rakyat Indonesia, khususnya kelas menengah ke bawah.   

Lah yang mayoritas itu memang kelas menengah ke bawah, karena yang kaya dan super kaya itu hanya sedikit. Empat orang terkaya di Indonesia diperkirakan sama kekayaannya dengan seratus juta rakyat Indonesia. Jomplang buanget kan!

Makanya kalau ingin melemahkan rakyat Indonesia, lemahkan ekonomi mayoritas rakyatnya. Caranya, ya itu, miskinkan mereka. Naikkan harga-harga dan persulit pembukaan lapangan kerja baru. Kalau teori ini berhasil, maka masyarakat yang tadinya stratanya sudah berada di kelas menengah, pelan tapi pasti akan turun ke strata masyarakat miskin. Sementara yang sudah miskin, akan segera melorot menjadi orang yang sangat miskin.

Bagi kita orang awam, untuk melihat maju mundurnya perekonomian masyarakat suatu daerah atau negara, kadang tak perlu sampai mencari data dari Badan Pusat Statistik (BPS), karena terkadang data yang dikeluarkan BPS juga tak lepas dari pengaruh kekuasaan. Cukup dengan melihat kondisi pembangunan daerahnya, termasuk kondisi para generasi mudanya.

Jika pembangunan jalan di tempat, generasi muda banyak yang pengangguran, mayoritas masyarakat suka mengeluh akan sulitnya perekonomian, sudah cukup menjadi bukti bahwa negara ternyata belum hadir untuk membantu rakyatnya.

Saat ini, hampir di setiap lorong, di setiap ceruk-ceruk kampung, orang banyak bicara tentang sulitnya hidup dan kehidupan. Harga-harga naik, sementara pendapatan berkurang. Bahkan sangat berkurang. Lalu, dimana negara? Hadirkah negara untuk membantu dan meringankan beban rakyatnya ini? Atau negara sengaja melakukan ini untuk "membunuh" pelan-pelan rakyatnya?

Dulu, untuk menjebol kebuntuan ini, ada para aktivis yang sangat vokal bersuara atas nama rakyat. Mereka dengan segala cara bahkan kadang di luar nalar melakukan tindakan yang sungguh mendapat simpati rakyat. Tak lupa kadang air mata membasahi pipi mereka demi memperjuangkan nasib rakyat yang semakin papa.

Tiba-tiba saya rindu suara lantang Rieke Diah Pitaloka dan Maruarar Sirait yang dulu di zaman SBY sangat vokal dan nyinyir setiap kali pemerintah ingin menaikkan harga BBM. Saya rindu dengan kekritisan Fadjroel Rahman yang dulu sampai membotakkan kepalanya begitu Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum ditetapkan tersangka oleh KPK. 

Saya rindu dengan Ribka Tjiptaning yang mengaku bangga sebagai anak PKI tapi dulu sangat vokal menyuarakan nasib wong cilik. Dan, saya rindu dengan suara lantang mahasiswa dan aktivis-aktivis lainnya yang dulu seperti tak tahu siang dan malam demi untuk memperjuangkan nasib rakyat!

Wahai para aktivis, dimana kalian sekarang? Mudah-mudahan kalian semua tidak sedang tertidur karena "kekenyangan" menikmati manisnya kekuasaan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun