Sampai detik ini, saya belum menemukan jawaban yang sangat meyakinkan, kenapa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) begitu pede mengusung Djarot Syaiful Hidayat sebagai calon Gubernur Sumatera Utara (Cagubsu) periode 2018-2023.
Hemat saya, banyak pihak yang turut "terperanjat" dengan keberanian PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri saat Kamis (04/01/2018) kemarin, dengan resmi mengumumkan nama mantan Walikota Blitar dua periode itu sebagai Cagubsu.
Saat mengumumkan nama Djarot, Mega hanya menyampaikan alasan yang sifatnya normatif. Misalnya, Mega menyebut bahwa Gubsu dalam dua periode terakhir selalu bermasalah dengan hukum. Memang, sudah dua orang Gubsu secara berturut-turut masuk penjara karena kasus korupsi, yakni Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho.
Mega berharap, Djarot yang sudah malang-melintang di dunia birokrasi dan bahkan pernah beberapa bulan menjabat Gubernur DKI Jakarta, jika nanti terpilih sebagai Gubsu mampu membawa Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sebagai provinsi yang maju dan bebas dari KKN.
Tapi, adakah alasan lain yang lebih substantif sehingga Mega selaku Ketua Umum PDIP begitu yakin untuk menyorong nama Djarot ke provinsi Orang Batak itu?
Jika kita menganalisa dengan menggunakan frame politik identitas, Djarot yang asli Jawa memang tidak akan begitu sulit masuk ke Sumut, karena dari 13 juta lebih bahkan hampir 14 juta penduduk Sumut, sekitar 32.62 persen adalah suku Jawa atau nomor dua banyak di bawah suku Batak (41,93 persen).
Begitu pun dengan jumlah konstituen PDIP di Sumut cukup besar, dimana pada Pileg 2014 lalu mampu menjadi runner up setelah Partai Golkar. Sehingga, untuk DPRD Provinsi Sumut, PDIP berhasil menempatkan 16 orang kadernya atau hanya terpaut satu kursi di bawah Golkar (17 kursi).
Tapi, kalau hanya dangan modal di atas, tentu tidaklah mudah bagi Djarot untuk melenggang meraih kursi Sumut 1. Apalagi kandidat lain yang menjadi lawan tanding juga punya modal yang jauh lebih kuat dari itu. Sebut saja sang Petahana Tengku Erry Nuradi yang sejauh ini didukung Nasdem, Golkar dan Hanura.
Tengku Erry yang juga adik kandung mantan Gubsu Tengku Rizal Nurdin adalah tokoh Melayu yang cukup disegani. Begitu juga dengan Letjen TNI Edy Rahmayadi yang didukung PKS, PAN dan Gerindra. Sebagai putra daerah yang lama berkiprah di tingkat nasional, baik sebagai Pangkostrad maupun Ketum PSSI, Edy adalah sosok militer yang dirindukan banyak orang Sumut.
Boleh saja PDIP menganggap Sumut sebagai provinsi terbuka dengan masyarakat yang heterogen layaknya DKI Jakarta, sehingga masyarakatnya siap-siap saja menerima siapapun gubernurnya. Tapi, pertanyaan berikutnya, apakah Djarot sebagai figur yang ditawarkan adalah sosok yang sungguh fenomenal sehingga memang sangat diharapkan oleh masyarakat Sumut? Hahaha...Agak ragu saya.
Andai Djarot sebagai petugas partai (begitu istilah di lingkungan PDIP) akhirnya benar-banar maju, pasti butuh usaha yang sangat keras dan cost politik yang pasti tidak sedikit untuk mendongkrak perolehan suaranya. Ibarat film kungfu China, nampaknya PDIP kali ini menggunakan jurus mabuk. Pukulan-pukulannya memang kurang meyakinkan, tapi sering tak terduga. Dan kalau kena sasaran, sang lawan bisa KO juga. Hehehehe....wallahu'alam... Â