Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Sunda: Sebuah Ironi

23 Maret 2011   12:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:31 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Sumber: http://www.perpuskita.com/"][/caption] Tidak ada yang akan menyanggah bahwa saya orang Sunda. Lahir dan dibesarkan di tanah Sunda, dengan kedua orang tua dan keluarga Sunda. Walaupun nama saya tidak mencerminkan itu. Karena biasanya orang Sunda memiliki nama yang berima semisal "Kabayan Kurniawan". Tapi berbicara bahasa Sunda, saya gagap. Dari kecil sampai sekarang, bahasa Sundalah yang menjadi alat komunikasi saya dengan orang tua/keluarga, karena rasanya canggung berbincang dalam bahasa nasional. Seperti tidak ada ruhnya. Tapi seiring dengan banyaknya pajanan dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain, apalagi sekarang tinggal di lingkungan yang hampir dipastikan tidak berbahasa Sunda, kemampuan bahasa Sunda saya semakin terdegradasi. Penurunan kemampuan berbahasa ini seperti aneh. Masa penutur bahasa pertama bisa 'melupakan' bahasa ibunya? Tapi, banyak penelitian mengenai hal ini menunjukkan demikian. Banyak penutur bahasa pertama yang sebilangan aspek kebahasaannya terkikis oleh intensitas penggunaan bahasa lain. Bahkan ada yang hilang sama sekali. Tapi ini bisa jadi terdengar sekedar apologi atau justifikasi dari rendahnya kemampuan berbahasa (Sunda) saya. Memang ya. Karena dengan banyaknya media online berbahasa Sunda, kita bisa terus mempertahankan dan mengasah kemampuan bahasa kita. Suatu waktu, saya pernah dijadikan konsultan bahasa dalam sebuah mata kuliah bertajuk Field Method. Inti dari matkul ini adalah membahas teknik-teknik mengambil/mengumpulkan data bahasa langsung dari penuturnya, untuk kemudian dideskripsikan dan dianalisis. Profesornya kebetulan tertarik dengan bahasa Sunda karena dia sudah lama meneliti bahasa-bahasa Jawa. Dalam banyak kesempatan, saya sering gagap, tertegun, menyadari rendahnya kompetensi bahasa Sunda saya. Terutama dalam hal kosa kata. Kerap ketika ditanya apakah satu kalimat berterima atau tidak, saya hanya bisa diam. Tak tahu apa yang harus dijawab. Ironisnya, bahasa Sundalah yang menjadi modal saya bisa bersekolah di sini. Saya diterima di program linguistik karena saya berbahasa Sunda dan pembimbing saya faham betul tidak banyak literatur linguistik (teristimewa linguistik generatif) ikhwal bahasa Sunda. Jadi, harapannya, saya bisa berkontribusi 'memperkenalkan' bahasa ini. Kenyataannya, kompetensi bahasa Sunda saya pun patut dipertanyakan. Kolega yang ahli dalam bidang fonologi pernah meneliti salah satu aspek pelafalan bahasa Sunda saya. Saya diminta mengucapkan daftar kata yang dia rekam untuk kemudian dianalisis secara kuantitatif. Istri saya pun dilibatkan sebagai respondennya. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa, dalam aspek fonologi yang diteliti, bahasa Sunda ternyata beda dengan bahasa-bahasa tetangga seperti Indonesia, Jawa dan Madura. Ketika disajikan dalam sebuah forum, salah profesor fonologi berkomentar, "Ah mungkin bahasa Sunda si Eri sudah terkikis oleh bahasa lain." Bisa jadi beliau benar. Dalam sejumlah konferensi internasional ikhwal bahasa-bahasa di lingkup nusantara dan sekitarnya, saya gemar berkoar-koar bahwa bahasa Sunda ini adalah bahasa besar. Lihat saja jumlah penuturnya yang diperkirakan 34 juta orang. Jauh mengalahkan bahasa-bahasa Eropa yang lebih terkenal seperti bahasa Belanda, Rumania, Bulgaria atau Swedia. Sayangnya, 'besarnya' bahasa Sunda ini belum bisa menarik perhatian para linguis (barat) untuk menelitinya. Beda dengan tingginya perhatian mereka pada bahasa Indonesia, Jawa atau Madura. Makanya, saya berkilah bahwa kajian saya merupakan salah satu upaya untuk memperkenalkan bahasa Sunda. Lucunya (baca: menyedihkan), data yang saya jadikan fondasi analisis saya diperoleh dari orang lain seperti istri atau teman-teman di facebook. Kalimat-kalimat saya sendiri sering dipertanyakan keabsahannya. Mungkin karena saya banyak mengadaptasi struktur kalimat asing ke dalam bahasa Sunda. Menyedihkan memang, di saat orang lain menaruh harapan besar di pundak saya untuk mengangkat bahasa Sunda dalam percaturan global linguistik (generatif), kemampuan bahasa saya sendiri semakin terkikis. Mungkin, sudah saatnya pulang kampung dulu untuk mengasah kemampuan berbahasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun