Tadi malam, di atas meja makan ada semangkuk sup yang duduk diam di sudut piring porselen.
Wajahnya sederhana: potongan wortel, buncis, dan kentang,
mengapung lesu dalam kuah bening yang tak mengundang selera.
Tak ada yang melirik. Tak satu pun sendok mengusik kehangatannya.
Ia menjadi simbol dari sesuatu yang tampak biasa,
yang hadir tapi tak diinginkan,
yang tersedia tapi tak dipilih.
Beberapa penghuni rumah hanya menatap sekilas,
lalu berpaling pada hidangan yang lebih mengilap,
lebih harum, lebih menggoda.