Menjelang masa menopause, banyak wanita mengalami perubahan emosional yang cukup signifikan. Secara ilmiah, fase ini dikenal sebagai perimenopause, yaitu periode transisi sebelum siklus menstruasi benar-benar berhenti. Penelitian dalam bidang psikologi dan endokrinologi menunjukkan bahwa perubahan hormonal yang drastis, khususnya fluktuasi kadar estrogen dan progesteron, menjadi faktor utama di balik meningkatnya sensitivitas dan perubahan suasana hati pada wanita di usia 40 hingga awal 50-an.
Estrogen berperan penting dalam mengatur neurotransmitter seperti serotonin dan dopamine, zat kimia otak yang mengendalikan suasana hati. Ketika kadar estrogen menurun secara tidak stabil, otak pun mengalami kesulitan mempertahankan kestabilan emosional. Inilah sebabnya, menurut American Psychological Association (APA), wanita di masa perimenopause lebih rentan terhadap stres, kecemasan, bahkan depresi ringan.
Secara praktis, banyak wanita di fase ini melaporkan bahwa mereka menjadi lebih mudah tersinggung oleh hal-hal kecil yang sebelumnya bisa diabaikan. Misalnya, kritik ringan dari rekan kerja bisa terasa sebagai serangan pribadi, atau perubahan kecil dalam rutinitas rumah tangga seperti suami yang lupa membeli kebutuhan dapur, dapat memicu ledakan emosi. Reaksi ini bukan sekadar 'baper' atau berlebihan, tetapi sebuah respons biologis tubuh terhadap ketidakseimbangan hormon.
Selain perubahan hormonal, faktor psikososial turut memperparah gejolak emosi tersebut. Menjelang menopause, wanita sering menghadapi berbagai tekanan kehidupan: anak-anak mulai beranjak dewasa dan meninggalkan rumah (empty nest syndrome), tanggung jawab merawat orang tua yang menua, atau bahkan menghadapi realitas penuaan diri sendiri. Kondisi ini, jika tidak dikelola dengan baik, menjadi sumber tambahan stres emosional.
Contoh kasus yang sering terjadi adalah perubahan dinamika dalam pernikahan. Banyak wanita mengeluhkan bahwa komunikasi dengan pasangan menjadi lebih sulit. Hal ini bukan semata-mata karena suami berubah, tetapi karena perubahan cara wanita memproses dan merespons stimulus emosional. Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Women's Health menemukan bahwa lebih dari 60% wanita dalam masa perimenopause melaporkan adanya peningkatan frekuensi pertengkaran dalam rumah tangga, yang sebagian besar dipicu oleh hal-hal kecil yang membesar karena ketidakstabilan emosi.
Relate dengan pengalaman banyak wanita, sering kali muncul perasaan kehilangan kontrol atas diri sendiri. Seorang wanita mungkin menyadari bahwa ia lebih sering menangis tanpa alasan jelas atau merasa marah pada hal-hal sepele, namun tetap merasa tak mampu menghentikannya. Kondisi ini memunculkan rasa frustasi, memperkuat persepsi bahwa dirinya 'tidak seperti dulu lagi'. Bila tidak diantisipasi, ini bisa menurunkan rasa percaya diri dan mempengaruhi hubungan sosial secara luas.
Namun, penting untuk dipahami bahwa perubahan ini bukanlah sebuah 'kegagalan pribadi'. Mereka merupakan bagian normal dari perjalanan biologis wanita. Dengan dukungan yang tepat---baik dari lingkungan keluarga maupun profesional kesehatan mental, perubahan emosional ini dapat dikelola dengan lebih baik. Psikoterapi, konseling perimenopause, olahraga teratur, serta praktik mindfulness telah terbukti efektif membantu wanita dalam mengarungi masa transisi ini.
Di sisi lain, edukasi juga sangat penting. Banyak wanita yang merasa lebih tenang setelah memahami bahwa gejolak emosional yang mereka alami bukan karena "salah sendiri" atau "tidak cukup kuat", melainkan bagian dari perubahan tubuh yang alami. Semakin dini informasi ini diterima, semakin kecil kemungkinan perubahan emosi berkembang menjadi masalah psikologis yang lebih berat.
Masa menopause memang membawa tantangan emosional, tetapi dengan pengetahuan, penerimaan, dan perawatan diri yang tepat, wanita dapat melewati fase ini dengan lebih berdaya. Memahami tubuh dan emosi sendiri bukan hanya bentuk penerimaan, melainkan juga bentuk penghormatan terhadap perjalanan hidup yang penuh warna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI