Penulis : Ririe AikoÂ
Penutupan sejumlah perusahaan besar belakangan ini memberi sinyal kuat bahwa kondisi ekonomi Indonesia sedang berada dalam tekanan. Terbaru, kabar mengenai Tupperware, merek yang telah puluhan tahun hadir di rumah-rumah Indonesia, ikut terpuruk menjadi perbincangan publik. Ini bukan sekadar kabar buruk tentang satu merek legendaris, tapi cerminan kondisi ekonomi yang patut diwaspadai.
Tupperware bukanlah pemain kecil. Ia dikenal luas sejak era 1990-an sebagai simbol gaya hidup modern dan efisien. Jaringan pemasaran langsung yang mereka kembangkan bahkan sempat menjadi peluang ekonomi rumah tangga, terutama bagi perempuan. Namun kini, perusahaan tersebut menghadapi krisis keuangan serius. Tupperware Brands Corp. dilaporkan telah menyewa konsultan restrukturisasi dan mengakui kemungkinan besar tidak bisa bertahan jika gagal memperoleh pendanaan tambahan. Meski kondisi ini lebih dulu terjadi di pusat bisnis global mereka, dampaknya juga terasa di Indonesia.
Sebelum Tupperware, publik telah menyaksikan kisah kelam dari Sritex, perusahaan tekstil raksasa yang sejak lama menjadi tumpuan ekspor Indonesia dan Bata, merek sepatu legendaris yang juga menutup sejumlah gerainya. Rangkaian kejatuhan perusahaan-perusahaan besar ini bukanlah fenomena biasa. Ia menunjukkan tekanan ekonomi riil yang dialami pelaku industri, bahkan yang sebelumnya dikenal tangguh.
Terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan analisis atas gelombang penutupan ini. Pertama, daya beli masyarakat yang menurun akibat inflasi yang tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan. Kedua, disrupsi digital dan perubahan gaya konsumsi yang tidak diimbangi dengan strategi adaptif oleh sejumlah perusahaan lama. Ketiga, kebijakan fiskal dan regulasi yang masih kurang mendukung UMKM dan industri padat karya dalam menghadapi persaingan global.
Namun yang paling mengkhawatirkan adalah absennya sinyal pemulihan yang kuat dari pemerintah. Meski angka makroekonomi seperti pertumbuhan PDB atau cadangan devisa terlihat menjanjikan, kondisi mikro yang dirasakan masyarakat dan dunia usaha menunjukkan ketimpangan besar. Ketika perusahaan-perusahaan besar yang sudah punya pijakan kuat saja mulai tumbang, maka perusahaan kecil dan menengah tentu berada dalam kondisi yang lebih rapuh.
Pemerintah perlu lebih terbuka membaca tanda-tanda ini sebagai krisis kepercayaan pasar. Diperlukan strategi penyelamatan industri yang komprehensif, mulai dari insentif pajak, pembukaan akses pembiayaan yang adil, hingga peningkatan skill tenaga kerja. Langkah-langkah simbolis seperti pameran UMKM tidak akan cukup jika tidak diiringi intervensi nyata pada jantung persoalan ekonomi nasional.
Fenomena tutupnya Tupperware dan sederet perusahaan besar lainnya harus menjadi alarm, bukan sekadar berita. Ini waktunya meninjau ulang arah kebijakan ekonomi agar tidak hanya berpihak pada statistik, tapi juga menjawab realita di lapangan. Bila tidak, bukan tidak mungkin kita akan melihat lebih banyak nama-nama besar lainnya mengikuti jejak serupa: gulung tikar dalam senyap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI