Penulis: Ririe AikoÂ
Rasanya baru kemarin sore saya melewati jalan Balubur Bandung. Udara masih hangat, langit belum gelap, dan sepanjang jalan dipenuhi orang-orang yang lalu-lalang cari takjil. Penjual es buah, gorengan, kolak, sampai risol mayo berjejer rapi seperti ikut lomba siapa yang paling menarik perhatian. Saya masih ingat aroma gorengan yang menyatu dengan udara sore, ramai tawa anak-anak, dan motor-motor yang parkir sembarangan karena buru-buru beli takjil buat buka. Eh, tahu-tahu sekarang jalan itu sepi. Ramadan udah selesai. Lebaran pun kayak cuma mampir sebentar lalu pergi.
Kok bisa ya, waktu rasanya cepet banget?
Padahal, Ramadan itu sebulan penuh. Harusnya terasa lama. Tapi kenyataannya, baru juga terbiasa bangun sahur, baru juga nyaman dengan rutinitas ngabuburit, tahu-tahu sudah malam takbiran. Suara takbir yang dulu berkumandang dari masjid ke masjid sekarang tergantikan oleh suara harian yang lebih biasa, suara deru motor lewat yang bersiap untuk berangkat kerja.Â
Dan yang paling kerasa itu ya... pas hari Lebaran. Suasana rumah yang tadinya ramai, penuh tawa, peluk cium maaf-maafan, meja penuh kue dan opor, sekarang kembali ke rutinitas harian. Kursi-kursi yang sempat penuh jadi kosong lagi. Ruangan yang tadinya hangat oleh obrolan jadi sepi. Kok bisa secepat itu ya semua berubah?
Yang bikin makin terasa cepat adalah kenyataan bahwa sekarang kita udah harus mulai balik lagi ke aktivitas harian. Rutinitas kerja udah menanti. Laptop dibuka lagi, email menumpuk, meeting mulai bermunculan, dan alarm pagi kembali aktif. Padahal rasanya baru kemarin kita duduk bareng keluarga sambil ngopi dan ngobrol ngalor-ngidul tanpa mikirin pekerjaan. Rasanya masih pengen lebaran. Masih pengen santai, masih belum puas dengan suasana hangat kemarin. Tapi eh, tahu-tahu udah harus kerja lagi. Realita kembali menjemput tanpa basa-basi.
Kadang saya mikir, apa karena kita terlalu menikmati momen, ya? Sampai-sampai waktu terasa berlari, bukan berjalan. Ramadan dan Lebaran itu punya vibes yang beda. Semua orang jadi lebih lembut, lebih sabar, lebih terbuka. Bahkan yang biasanya cuek pun bisa tiba-tiba ngasih senyuman hangat saat antre beli gorengan. Semua orang kayak sepakat untuk jadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Makanya, pas semua itu hilang, kita merasa kehilangan.
Dan kehilangan itulah yang bikin kita sadar, betapa berharganya momen itu. Betapa indahnya suara takbir yang menggetarkan hati. Betapa nyamannya kebersamaan yang kadang kita anggap sepele. Lebaran bukan cuma soal makanan enak atau baju baru. Ia adalah tentang perasaan pulang, baik secara fisik maupun emosional. Tentang kesempatan untuk berkumpul, saling memaafkan, dan menyadari bahwa di tengah dunia yang cepat berubah, masih ada hal-hal yang tak tergantikan.
Tapi begitulah hidup. Semua yang indah memang tak bisa lama-lama. Mungkin itu juga yang membuat Ramadan dan Lebaran terasa begitu istimewa, karena kita tahu mereka akan pergi, dan kita harus menunggu setahun lagi untuk menyambut mereka kembali.
Tapi bukan berarti vibes Ramadan dan hangatnya Lebaran harus benar-benar menghilang, kan? Mungkin, meski tak ada lagi suara takbir di malam hari, kita masih bisa menjaga getaran itu dalam hati. Kita masih bisa berbagi seperti saat Ramadan, memaafkan seperti saat Lebaran, dan menebar kebaikan di hari-hari biasa. Karena kalau dipikir-pikir, bukankah seharusnya semangat Ramadan dan Lebaran itu bukan cuma jadi momen tahunan, tapi jadi cara hidup?