Saat rekahan batu bata ku terjunkan air. Setitik demi setitik, rapuh perlahan dengan derap derap lenyap menyublim ditelan bumi.
Saat ku larung dan berhenti menggapainya, tetiba terngiang suatu kisah dengan sapuan relung tak berdarah.
***
Tragedi Kanjuruhan. Senantiasa berkabung penuh raut muka pucat pasi murung.
( Di suatu malam, aku sejenak memekik dan menandaskan pena dengan suara pada pinta berderu mengerutu, " Ah, berdenting kenangan pilu yang menggema di telinga ". Cukup membuat guratan dan mata belo. Terpasung dan terdiam.)
****
Dibalik cermin
Sejenak daku butuh untuk merengkuh
dengan jari jemari hati yang telah lusuh
Membeli Cermin di Kanjuruhan itu seyogyanya daku bisa bertahan, namun ruam ruam stadion olahraga bola itu telah terbungkam dan terkunci, hanya tinggal dua bilah pintu jalan tersisa