Mohon tunggu...
Erik Kurniawan
Erik Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Aktivis Pergerakan Pemuda

Sekretaris di Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor di Ponorogo. Hobi Menulis, Berfikir Besar, Kemudian Bertindak. Murid Ideologis Tan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Petani, Sang Marjinal Si Anak Tiri

17 April 2022   22:04 Diperbarui: 17 April 2022   22:11 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbicara tentang nasib petani hari ini nampaknya kita akan terjebak pada nuansa yang kental akan aroma alegori dan kajian retorika Partai Komunis Indonesia masa lampau. Membincang kesejahteraan petani akan terbayang sebuah representasi petani dengan simbol arit itu, sehingga mampu menjadikan topik ini menguap tidak menarik lagi. Bayang-bayang hantu komunisme nampaknya masih membayang di memori komunal sebagian besar masyarakat. Dan celakanya, mayoritas tersebut justru bukan mereka yang berkecimpung di dunia pertanian atau berasal dari keluarga petani. Ya, disini penulis sedang membincangkan sang kaum petani yang dulu dibuai oleh janji-janji politis Partai Komunis dengan jualan isu kemiskinannya itu.

Data Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2019 menyatakan bahwa jumlah petani di Indonesia mencapai 33,4 juta orang. Adapun dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta orang. Kecenderungan petani beralih profesi tiap tahun terus mengalami peningkatan, pun jumlah petani didominasi mutlak oleh petani berusia diatas 40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah petani menyusut tiap tahun karena berbagai faktor adalah sebuah keniscayaan. Jika kita melihat jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 273,8 juta di tahun 2021, dibandingkan dengan data jumlah petani di tahun 2019 pasti terlihat betapa kontrasnya statistik ini. Satu hal yang menunjukkan betapa naifnya jika negara ini masih terus diagungkan sebagai sebuah negara agraris.

Sektor pertanian memang bukan semata hanya tentang sawah dan ladang sebagai penghasil tanaman pangan, sektor pertanian mencakup hal-hal yang lebih luas termasuk perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan. Keluasan sektor ini, selanjutnya justru menjadikan petani tanaman pangan (sawah dan ladang) menjadi jumlah kecil dari persentase statistik sektor pertanian. Tunjukan angka yang nampaknya kian meneguhkan kaum petani yang bekerja di sawah dan ladang sebagai anak tiri dan kaum marjinal yang tidak perlu untuk benar-benar diperhatikan.

Mengkaji pembahasan tentang petani hingga merumuskan berbagai program yang dikatakan "pro petani", kerapkali berakhir kontraproduktif. Seakan cinta yang bertepuk sebelah tangan, antusias dan animo kaum tani bak gayung tak bersambut dengan gempuran berbagai program-program yang diatas kertas adalah wujud dan bukti kepedulian untuk mereka. Realisasi kebijakan hasil analisa top down yang berbuah berbagai program, seringnya malah mentah ditataran praksis lapangan.

Kaum petani sejauh ini adalah golongan rakyat yang benar-benar merdeka. Faktanya mereka tetap bersetia menjadi petani meski tanpa campur tangan negara. Zaman Orde Baru saat dimana kaum petani "dipaksa" negara untuk beralih menggunakan pupuk kimia, justru menimbulkan tumpukan permasalahan yang berlarut-larut hingga sekarang. Tengok saja, ketergantungan pada pupuk kimia dan obat-obatan pertanian tak terbendung lagi. Kesadaran untuk kembali menggunakan berbagai produk pupuk dan obat-obatan organik menemui berbagai kendala dan kesulitan tersendiri. Berbagai inovasi pertanian akan disambut baik manakala benar-benar mampu menekan ongkos produksi, jika tidak langsung mentah dengan sendirinya. Kaum petani saat ini hanya berharap bagaimana esok bisa menanam kembali, pupuk dan obat-obatan makin mahal tak mengapa asalkan tetap mudah untuk diakses. Inflasi yang bermuara pada ongkos produksi kian melambung tinggi tetap diterima begitu saja. Kebersahajaan kaum petani seperti ini harusnya diapresiasi bukan hanya dijanjikan penyampaian aspirasi dan buaian retorika semu belaka.

Kalau boleh jujur, seharusnya kita pantas berlapang dada dengan menyimpulkan bahwa kaum petani benar-benar telah dimiskinkan dan dipaksa ke titik itu oleh sistem. Entah sistem sosial yang berjalan alamiah ataukah sistem yang sejatinya dikreasi oleh negara.

Fakta lapangan tidak bisa lagi dibantah dengan narasi-narasi omong kosong. Kelangkaan dan mahalnya pupuk saat musim tanam, ambruknya harga jual gabah saat musim panen, bukanlah isapan jempol. Minimnya penyerapan gabah petani oleh Perum Bulog juga bukan hanya teori. Saat petani menjerit karena harga gabah tak kunjung naik, menunda penjualan diartikan oleh negara sebagai sinyalemen untuk impor beras dengan dalih menjaga stok persediaan nasional. Kondisi seperti ini berlangsung kian berlarut-larut dari generasi ke generasi hingga menjadi tradisi yang terus saja dimaklumi. Bagi anak petani yang telah mengalami didikan bangku sekolah dan perguruan tinggi, menjadi petani berarti satu hal yang tolol dan bodoh. Keledai pun tak mau terjerumus  dua kali ke lubang yang sama. Sebuah inisiasi dan rintisan program berbasis pro petani yang berasal dari pergerakan akar rumput, akan dicap sebagai pelestarian ajaran PKI jika terlalu keras digaungkan pada kalangan birokrat negara. Dan hanya menjadi angka-angka yang diklaim menjadi konstituen oleh para petugas partai, bahan jualan lagi untuk tradisi 5 tahunan. Miris? tidak juga, namanya saja tradisi yang dimaklumi. Hehe.

Dalam kapasitas pribadi penulis, sependek sudut pandang dan "outlook" dalam mengurai masalah, nasib petani harus dikerucutkan menjadi tanggung jawab mereka yang peduli. Tidak perlu berharap lebih pada negara, karena angka kecil bukan patokan guna menyusun kebijakan makro. Tidak perlu pula berharap lebih pada petugas partai, karena mustahil basis massa mereka hanya kaum petani saja. Kepedulian pada kaum tani harus dirintis dari kalangan yang benar-benar peduli. Memulainya dengan menjadi "problem solver" berbagai permasalahan petani, hingga tidak menutup kemungkinan membuat "Pesantren dan Lembaga Kesejahteraan Sosial" massal yang menaungi dan menghidupi keseharian mereka. Melewati lintas sektoral hingga menyentuh pendidikan, kesehatan, peranan perempuan, kepemudaan, sosial bahkan keagamaan mereka.

Bayangkan saja, jika komunitas yang berisi orang-orang yang benar-benar peduli itu membuat satu unit usaha entah koperasi atau badan lain. Meminjamkan modal tanam untuk petani, menjamin ketersediaan pupuk dan obat-obatan pertanian yang terjangkau, menampung hasil panen petani saat harga anjlok hingga menjualnya saat harga berada di kisaran harga normal (tidak merugikan petani), melakukan pendampingan dan peningkatan literasi, hingga mendorong terjadinya diversifikasi ekonomi dan diversifikasi pertanian guna membuat petani kian berdaya. Atau dalam istilah teman-teman LAZISNU, menjadikan mustahiq hingga berdaya dan merubahnya menjadi muzakki. Memulai dengan skala kecil, hingga menjadi "role model" untuk melanjutkan pengembangan skala yang lebih besar dan meluas. Dengan demikian, sang kaum marjinal si anak tiri itu menjadi kaum berdaya dan setidaknya diakui sebagai anak kandung negara, tidak hanya menjadi bulan-bulanan partai berbasis massa. Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun