Mohon tunggu...
eri fauzi rahman
eri fauzi rahman Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru di SMKN 1 Sukanagara Kabupaten Cianjur Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pancasila Tidak Hanya di "Baju", Tetapi di "Perilaku"

1 Juni 2020   21:58 Diperbarui: 1 Juni 2020   22:24 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Saya baru ‘ngeuh” ternyata Pancasila ada hari lahirnya. Dulu yang saya tahu adalah peringatan Hari Kesaktian pancasila tanggal 1 Okotber persis setelah peringatan Gerakan Pemberontakan PKI tanggal 30 September atau dikenal dengan G-30 S/PKI. Mengapa hari kelahiran Pancasila ini seolah kalah pamor? Selidik punya selidik, ternyata dulu ketika saya hidup di zaman orde baru, Pancasila “tidak dilahirkan”. Mungkin saja karena orde baru tidak senang dengan “bau-bau” Soekarno, karena tanggal 1 Juni ini, berkaitan erat dengan peran Bung Karno dalam merumuskan dasar negara sebelum kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni, pernah diusulkan oleh Megawati Soekarno Putri kepada SBY (Susilo Bambang Yudoyono) saat menjadi Presiden, hanya saja belum mendapat persetujuan. Baru ketika pemerintahan Jokowi, Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 24 Tahun 2016.

“Keputusan Presiden tentang lahir Pancasila, Pertama: menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila, kedua: tanggal 1 Juni merupakan hari libur nasional”, demikian bunyi diktum pertama dan kedua Keppres tersebut.

Proses panjang ini jelas memperlihatkan kepada kita, bahwa benar dalam kebijakan pemerintahan selalu ada kepentingan politik “kekuasaan” yang menyertainya. Padahal semua mengakui bahwa Pancasila adalah dasar negara dan entitas pribadi bangsa. Tetapi itu lah kepentingan politik yang terkadang “berseberangan” dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Kita tinggalkan sejenak tentang politik kekuasaan, yang jika semakin kita membahasnya semakin kita “geli” dibuatnya.

Kita bersepakat bahwa Pancasila lahir dari kesatuan ide seluruh anak bangsa, demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan final ini tidak boleh dirusak dengan coba-coba menggantinya dengan Ideologi baru. Kita semua berkewajiban untuk mempertahankan Pancasila ini, tidak hanya melalui gerakan-gerakan simbolisasi Pancasila, tetapi lebih kepada gerakan internalisasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pancasila tidak hanya di “baju”, tetapi lebih kepada perilaku. Berketuhanan Yang Maha Esa misalnya, dibuktikan dengan nyata dalam kehidupan beragama dengan betul-betul nilai dan ajaran Ketuhanan YME tersebut ia laksanakan. Absurd ketika berujar bahwa dirinya Pancasilais, tetapi ajaran agama dari Tuhan-nya ia tinggalkan.

Lahirnya Pancasila sebagai dasar Negara tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun. Bahkan agama menjadi ruh yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Termasuk didalamnya agama Islam. Pancasila dengan agama Islam tidak bertentangan, bahkan jika dirunut melalui aspek kesejarahan lahirnya Pancasila, ternyata Pancasila lahir tidak terlepas dari peran para ulama.

Seperti diketahui bahwa Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH. A. Wachid Hasyim, H. Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin. Untuk lebih jelasnya lagi tentang sejarah lahirnya Pancasila, silakan bisa menelusurinya melalui litersi sejarah dari buku-buku, jurnal ilmiah atau artikel lainnya.

Sekali lagi bahwa yang terpenting dari Peringatan Lahirnya Pancasila adalah pertama, meneguhkan kembali keyakinan bahwa Pancasila adalah kesepakatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, Pancasila lahir tidak bertentangan dengan agama manapun. Jika tujuan beragama adalah untuk kemaslahatan umat (al-mashlahatu al-ammah), pun dengan Pancasila. Ketiga, Pancasila jangan hanya di “baju” yang bersifat simbolistik, tetapi di perilaku yang bersifat internalistik. Ibu Pertiwi akan bersedih ketika anaknya “berbaju Pancasila”, tetapi dalam perilakunya bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Wallohua’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun