Mohon tunggu...
Erick Mubarok
Erick Mubarok Mohon Tunggu... Petani - Penulis

Petani yang sedang belajar komunikasi | Penyuka sejarah | Penonton dagelan | Gooner dan Bobotoh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru, Digugu Lalu Ditinju

27 Februari 2018   16:37 Diperbarui: 27 Februari 2018   17:03 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku merasa, dunia telah berubah. Baktiku untuk mendidik, menghabiskan seumur hidupku untuk membagi ilmu, yang aku bayangkan adalah profesi terindah melihat wajah-wajah yang membawa masa depan cerah untuk bangsa ini. Namun kini, Guru, profesiku, tak ubahnya bekerja sebagai penjaga narapidana atau pawang binatang buas, resikonya siap-siap menerima luka.

Pak Budi, kawanku, di Sampang sana, kini aku merasakan perasaanmu Pak, kesakitan yang kau rasa dulu, bahwa mengajar kini menjadi profesi yang harus pemerintah berikan jaminan keselamatan, sama seperti pekerja buruh-buruh industri.

Aku tak pernah membayangkan, sejak kejadian 1 Februari lalu, cerita sama beda ending menimpaku.

"Gurumu, adalah hargamu di masa yang akan datang, bahkan di akhirat nanti. Jika saat ini sulit bagimu menghormatinya, maka bersiaplah menangis di suatu saat nanti"

Sungguh benar Pak Budi, puisi itu yang kau tulis beberapa hari menjelang hari yang membuat kekasihmu tersengguk air mata.

Luka yang tergores di lenganku, sungguh aku tak merasakan sakit apapun. Hatiku lebih tersayat, tak tahu harus mengadu pada siapa. Kini, ada ketakutan luar biasa dalam hati kami. Bukan karena takut mengajar lagi, tapi kami takut pertanggung jawaban pada Tuhan lalu dianggap dan dipertanyakan tak mampu mendidik dengan baik.

Aku sadar. Sekarang, anak-anak punya guru yang lebih menarik dari kami. Ia selalu menuruti kemauan anak-anak. Ia lebih pintar dari kami menjawab semua pertanyaan anak-anak.

Duitnya pun banyak, bisa mengantar anak berkeliling dunia kemanapun mereka memaksa. Bahkan mereka pun tak punya kuasa melarang anak-anak, membebaskan mereka sesuka hati mereka. Jika aku, dan para guru mengajarkan etika, ia tak perlu repot-repot membahasnya dalam bahasa yang jauh dari jangkau anak-anak kami, tinggal bercerita di depan kamera bercuap-cuap tak punya makna. Tapi itulah yang lebih disuka muridku. Guru yang ada disekepal tangannya.

Aku sadar. Ajaran kami hanya bahasa tekstual menyadur dari buku. Rumus-rumus dan cerita masa lalu tentang kerajaan yang membuat murid terlelap menerka "artis korea mana yang berparas jelita". Atau "dimana aku bisa dapat link video artis yang uh ah uh ah"

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Seketika Kang Ipul datang,
"Kang... kang.. Ayeuna mah Guru itu digugu lalu ditinju. Kasian euy"

Aku berhenti menulis. Doa dan salam terbaik untukmu wahai para Guruku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun