Mohon tunggu...
era fasirah
era fasirah Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya sebatas ulat yang berharap menjadi kupu-kupu.

Temukan saya di Kwikku dan IG: Erafsrh. Bisa juga dengarkan podcast saya di spotify; @podcast cerita racan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Luka Lama

18 September 2021   18:41 Diperbarui: 18 September 2021   18:46 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : erafasirah.photo

            

Bagi Jingga, berada di bumi tidak pernah membuatnya merasa damai, karena setiap ada yang datang padanya pasti akan hilang dengan sendirinya pula. Jingga memasuki kelasnya tanpa melihat kanan kiri. Hanya kursi pojok kanan belakang yang menyita perhatiannya. Setelah duduk, ia menyalakan ipodnya dan memejamkan mata. Mencoba untuk tenggelam dalam dunia bayangannya sendiri, dunia yang selalu ia sukai ketimbang berada di bumi yang begitu nyata.

            "Dewi Jingga, Dewi Jingga di mana?"

Dosen mata kuliah etika bisnis yang baru saja masuk beberapa menit yang lalu sudah sejak tadi berteriak menyerukan nama Jingga namun tidak ada jawaban sama sekali. Bahkan Dika sudah menyikut Jingga beberapa kali namun tetap tidak mempang juga. Lamunan Jingga yang terlalu khusyuk ditambah volume ipod yang sengaja ia setel dengan full membuatnya tidak mampu menyadari keberadaan dosen di depannya sekarang.

Pak Eko yang sudah sangat geram langsung berdiri dan menghampiri Jingga di mejanya. Dengan wajah merah padam, ia melepas headset yang terpasang di telinga kanan Jingga. "Keluar dari kelas saya sekarang!"

Tanpa membela diri, hanya menghembuskan napas berat beberapa kali sebelum akhirnya Jingga keluar dari kelasnya dengan membawa tas ransel miliknya beserta ipod yang selama ini  selalu setia bersamanya.

Jingga seringkali menjadi bahan obrolan teman-temannya di kelas. Namun hal itu tidak pernah membuatnya khawatir, sebab semakin sering ia dibicarakan maka semakin banyak pula yang tidak suka dengan sikapnya. Dengan begitu ia akan merasa baik-baik saja. Karena bagi Jingga, hidup sendirian jauh membuatnya lebih aman, damai, dan tenang.

Jingga duduk melantai di depan kelasnya. Ia memungut selembaran kertas sisa yang ada di sekitar tempat sampah. Dengan cekatan tangannya memulai aksi untuk mencoret-coret kertas, meluangkan semua yang ada di dalam pikirannya. Sudah jadi kebiasaan Jingga sejak dulu, menggambar apapun disetiap kertas sisa yang ia temukan.

            "Bukannya kamu lagi ada kelas?"

Jingga mendonggak. Lelaki dengan sepatu converse lusuh, kemeja hitam pekat, ditambah rambut gondrong yang diikat berantakan, serta sebuah kacamata bening yang menghiasi wajahnya. Ia tersenyum kepada Jingga, berharap jawaban darinya.

            "Lo Jingga kan? Temannya Dika."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun