Mohon tunggu...
Rahmad Widada
Rahmad Widada Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, penyunting buku. Publikasi: 1. Saussure untuk Sastra (metode kritik sastra). 2. Gadis-gadis Amangkurat (novel) 3. Jangan Kautulis Obituari Cinta (novel). 4. Guru Patriot: Biografi Ki Sarmidi Mangunsarkoro.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kala Bu RT Sudah Berkata

15 Oktober 2022   14:43 Diperbarui: 15 Oktober 2022   16:15 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nah, jelas, kan? Mana ada orang kerja dengan tangggung jawab sebesar itu tanpa dibayar?! Kita sudah lama merdeka, Mas! Zaman penjajahan sudah jauh lewat."

"Ah, berlebihan, kamu Nin."

"Untuk diketahui, ya, RT RW itu warisan zaman Pendudukan Jepang. Namanya Tonarigumi. Mirip seperti RT sekarang, mereka menjadi alat kontrol dan mobilisasi lingkungannya---harta ataupun tenaga---untuk  kepentingan pemerintah."

Nin memang suka membaca buku sejarah. Baru kali ini aku mendengar semuanya itu. "Jadi, aku harus bagaimana?"

"Ada dua pilihan. Mas Anwar mundur atau aku akan tulis keberatan kepada Pak Kadus."

Demi ketenteraman keluarga, aku mundur. Dalam pertemuan warga minggu berikutnya kukatakan bahwa menjabat sebagai Ketua RT selama dua periode itu sudah cukup bagiku. Lagi pula dalam peraturan menteri dinyatakan bahwa jabatan Ketua RT paling lama hanya bisa dijabat oleh orang yang sama selama dua periode. Aku mengutip aturan itu untuk memperkuat penolakanku meskipun, aku tahu, aturan ini sering dilanggar karena memang nyaris tidak ada yang mau menjadi ketua RT.

Banyak warga yang tetap mendaulat aku menjadi ketua RT. Aku bersikeras mundur. Dan usaha memunculkan calon baru pun tidak berhasil. Seperti yang sudah-sudah semua nama yang dimunculkan menolaknya dengan alasan masing-masing. Musyawarah menemui jalan buntu. Total.

Aku menulis surat kepada Pemerintah Desa. Kukabarkan bahwa RT kami gagal mendapatkan ketua yang baru. Tidak ada kepengurusan di RT kami. Aku, para mantan pengurus RT lain merasa malu dengan hal itu. Pasti kami menjadi bahan pembicaraan di kampung. Saat bertemu warga RT lain di masjid, di warung atau di jalan, aku sering ditanyai tentang masalah itu. Mau apa lagi, kujawab saja apa adanya.

Bagaimanapun masalah ini menjadi beban pikiranku. Kerap kali terngiang kembali kata-kata ayah mertuaku, "Berjamaah itu memerlukan imam. Hidup bertetangga perlu aturan main, perlu pemimpin yang sanggup memberi arah, menjadi penengah yang menjamin tegak dan adilnya aturan main. Jika kalian tidak mau bersungguh-sungguh mengurusi kehidupan berjamaah, maka berdiri di atas apa kalian saat menuntut kenyamanan hidup bersama? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun