Puisi : Edy Priyatna
Ketika semasa malam telah larut. Sudah pernah saat lidahku mulai kelu. Mendadak seketika terdengar satu suara. Pendirian setem angin hembusan nafasmu. Membuat rasa rindu nan mendalam. Serta ingin kugambarkan kisahmu. Beserta goresan puisi sajak indah. Tetapi semuanya itu telah berselang.
Sebagai laksana angin lalu hembuskan. Harapan sembur semua cintaku padamu. Lumayan kini aku terdiam seribu basa. Selama mengadu berbagai macam alasan. Lantaran pada sebuah diskusi besar. Hebat catatan hidup belum bersih. Cemerlang dari raut wajah bernoda biru. Hamba berusaha tersenyum walau mengental.
Panggilan rayuan seruan suara nyaring. Tetap tak di dengar oleh para penghuni tanah. Ahli pemukim pada saat perubahan waktu. Batas hidup telah lama hati tak haru. Perangai lubuk hati dengan mencekam. Selanjutnya mendebarkan ketika diadu. Waktu diatas roda besi menderu suara. Lantang tanpa irama saling berbalasan.
Penuntun sinyal anti kekerasan senantiasa. Tekanan berkelaluan menerima kedudukan. Mengasih penyesuaian dengan duri lurus. Searah tak melihat mata menikmati. Berkiblat kelangit menuju tanah baru. Alam rasa mengarah keudara melesat. Berorientasi tanah rangkat hijau bangunlah. Saling timbal balik kembali bergeser.
(Pondok Petir, 07 Nopember 2019)