Puisi : Edy Priyatna
Seumpama senja malas melintas. Menyebrang kita harus tak enak hati. Waspada kerantong desa berbunyi. Bermakna isyaratkan tanda bagi semua. Sekalian wahai sahabat dekat kami. Perlu sesuatu pandangkan tanganmu keatas. Supaya dapat ditutup sebuah karunia. Mungkin selalu ada terus bergejolak. Bergelora palung rindu tiada menaris. Membalut menyusuk terus kerongga dada. Permulaan jembatan kembali membentang. Hampar terminal ditelan ribuan kekosongan. Kepingan baru segera tiba siapkan dengan isi. Jangan sampai kosong semangat perjuangan. Kerja keras mendengarkan kata sang pencerita. Narator ada sebuah pura impian. Ternyata negeri ini sudah tak punya rembulan. Bahkan terlebih tak punya matahari. Selanjutnya ada hanya bayang ilusi. Menutupi para penguasa memperkaya diri. Kini kota itu tidak lagi memiliki pagi. Awal fajar orang halus kehidupan. Mengakhiri guna kehidupan lebih baik. Serta menjiwai bersimpuh tiada henti. Menguntungkan dengan segala keikhlasan. Kesucian hati senantiasa berkah dari penata. Desainer disini esok tak pernah jelas.
(Pondok Petir, 25 Oktober 2019)