Puisi : Edy Priyatna
Hari puisi tepatnya kini. Memahami pentas diadakan di atas kerangka benak para penulis. Semasa kata buat kata ditabuhkan selaku pembesar. Celentang lentur kehilangan berasimilasi. Memekikkan keseimbangan keluar di zaman baheula. Semua cemas musnah di masa kekelaman. Kemudian tergores rampung di periode kini. Menjelma berprofesi sekantong bersimbah bertih.
Hari puisi tepatnya 22 Nopember 2018. Seketika nasi hangat dipenuaian sawah tak berpengairan. Perkataan lebih dahulu kedaluwarsa berhubung lalai. Dikiasankan dengan tengah penulis berbakat sejak hadir. Wacana perkataan bertukar selaku batara. Penghuni tanah tersirat dan penjambret jiwa.
Hari puisi selalu. Beruntung adalah satu titah tampaknya di suaka. Sedikit renggang paling ada bidadara mengerang sukacita. Sederajat pertujukan lisan dan benih seluruhnya. Berterus terang dan terima salah. Mengangap tak bersusah hati dan bermuram durja. Seumpama menjadi bersenang dan sentosa.
Hari ini sebagai hari puisi. Berahi ketika seluruh pembuluh asabat gemetar. Air liur bersibaran daripada pengemar keterangan. Mewariskan warta menggegar berkenaan pentas. Sebaiknya apa fokus demobilisasi khusus dari totalitas safari. Mengundurkan diri kemudian berlagu pergi.
Hari puisi tepatnya 22 Nopember 2018. Perincian nafsi tidak meminati kesudahan. Senyampang tetesan adalah sebentuk kolom diselesaikan seperti itu. Akan tetapi mengerti seluruhnya tentu akan berdampak. Nantinya pasti akan berakhir.
Hari ini adalah puisi bukan maksiat. Memutuskan akhir nan tak ada harapan. Perjamuan pada hari ini pasti cuma tidak biasa. Sepanjang mengilegalkan nan tertinggal. Tetapi setelah nan selaku kelebihan. Pada kultur nan hampir mati.
(Pondok Petir, 22 Nopember 2018)