Mohon tunggu...
Epa  Mustopa
Epa Mustopa Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Pendidik Yang Tersesat Menjadi Tenaga Kependidikan

Saya sangat suka menulis. Menulis apa yang saya ingin tulis. Dari tulisan kita bisa lebih meningkatkan kemampuan. Baik kognitif, afektif, emosional dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Memberi" Adalah Energi Terbaik dari Ilahi

20 Juli 2018   10:58 Diperbarui: 6 Agustus 2018   16:30 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://media.ihram.asia

Memberi. Satu kata yang tidak asing di telinga. Beragam cara bisa kita lakukan untuk membuat orang lain bahagia. Salah satunya adalah memberi.

Saya teringat sisi negatif peribadi saya sepuluh tahun yang lalu. Ketika saya mendapat gaji bulanan, saya bisa dikatakan sangat pelit terhadap keluarga, teman, tetangga. Bisa dibilang saya orangnya itungan. Kalau mengeluarkan materi, tenaga, dan pikiran untuk orang lain, saya selalu menuntut balik dan mengharapkan imbalan yang setimpal.

Alhamdulillah saya dipertemukan Allah dengan sosok gadis cantik yang sekarang menjadi pendamping hidup. Sebelum menikah, kami menjalin pacaran selama dua tahun. Sekarang, saya hanya bisa bilang, "Terima kasih istriku, kau telah bersabar menanti selama itu."

Selama masa pra menikah, Kami saling mempelajari karakter masing-masing. Saya termasuk jenis pria yang menyebalkan, sangat pelit mentraktir pacar. Sedangkan pacarku sangat pengertian dan selalu mentraktir. Satu-satunya yang suka menghantui alam hati dan pikiran waktu itu adalah, "jika saya tidak pelit, maka uang saya akan habis. Sedangkan mencari uang itu tidak mudah". Sungguh pemikiran yang kerdil.

Dalam tempo menjalin hubungan pacaran, dia tidak bisa langsung memberi saran kepadaku agar tidak bersikap pelit. Dia hanya memberikan contoh dengan perbuatan. Sepulang mengajar, dia selalu bercerita, betapa bahagianya saat melakukan home visit ke rumah orang tua siswa yang tidak mampu. Dia selalu menyisihkan gaji bulanan untuk dibelikan seragam, sepatu, tas, dan perlengkapan sekolah lainnya. Kemudian memberikan perlengkapan tersebut di waktu kunjungan.

Mendengar cerita dari pacar tentang sikap dermawan dia kepada siswa tidak mampu, hati ini tidak terenyuh sedikit pun. Yang ada, mungkin iblis dalam hati saya hanya mengomel, "Ngapain buang-buang uang untuk hal yang tidak penting."

Suatu hal yang membuat hati saya sedikit terkesima, pada hari senin sore dia menyerahkan hampir seluruh gaji bulanan kepada ibunya setelah dipotong oleh kebutuhan peribadi. Saya jadi sedikit penasaran. Di sela-sela nongkrong berdua di teras, saya bertanya, " Neng, kalau boleh tahu gaji kamu berapa?", dia hanya tersenyum sembari menjawab, "Ah, Si Aa ini kaya gak tahu aja,  dimana-mana gaji guru honor itu standar segitu." Saya jadi semakin penasaran, "Eh, segitu itu berapa?", dia menjawab sembari menggulungkan rambut panjangnya untuk kemudian diikat, " Alhamdulillah 300 ribu A, tapi saya mengajar di lima sekolah jadi lumayan agak gedean dikit." Sambil menghela napas, "Kasihan ibu A, dulu beliau dinafkahi oleh ayah secara penuh. Setelah ayah meninggal tongkat estafet nafkah harus kuperjuangkan dengan kerja keras".

Tak terasa hubungan kami sudah genap menginjak satu tahun. Seiring berjalannya waktu, saya lebih mengenal sosok Neng. Pacarku yang baik hati. Akhirnya saya tahu, dengan gaji Rp. 1,5 juta per bulan, dia mampu membantu membiayai kedua adiknya sekolah sampai tingkat SMA. Awalnya saya suka cemburu, dengan uang sekecil itu dia bisa membantu keluarga dan bersikap dermawan. 

Pikiran jahat saya mulai melayang kemana-mana, "jangan-jangan, dia mempunyai selingkuhan yang suka men-suply uang tiap bulannya". Gilanya lagi, saya menyempatkan satu hari penuh menguntitnya secara diam-diam untuk menjawab buruk sangka yang terus berkecamuk dalam hati.

Terima kasih Yaa Rabb. Masih teringat betul dalam benak. Dulu saya merasa kurang berkualitas dalam menjalani kehidupan. Terbukti dari rutinitas bangun tidur yang suka kesiangan, jarang melaksanakan shalat lima waktu, selalu berpikir negatif, dan yang paling parah terlalu sayang ketika harus mengeluarkan uang untuk orang lain (alias pelit).

Saat itu saya mengajar hanya di satu sekolah. Sosok seorang guru honor yang selalu menyimpan dendam kepada pemerintah yang memberikan kesejahteraan sangat minim. Saya menjadi peribadi yang selalu menyendiri, tidak mudah bergaul, dan memiliki sikap sosial yang boleh dikatakan minus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun