Mohon tunggu...
Eny DArief
Eny DArief Mohon Tunggu... Lainnya - An ordinary woman

Halloo, apa kabar?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Ilalang

11 November 2021   11:49 Diperbarui: 11 November 2021   12:06 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlintas wajah Ibuk dan almarhum bapak dipelupuk mataku bergantian dengan wajah mas Tegar.
"Mereka membawa kita kesini untuk melayani para serdadu-serdadu tersebut..."
Duh Gusti, hal buruk ini menimpa diriku. Hancur sudah harga diriku diinjak-injak dan dilahap oleh laki-laki itu.

"ilalang... kita harus kuat, bukan tuan Kino itu saja yang akan menidurimu, tapi serdadu-serdadu lain juga mungkin akan datang dan membawamu, jangan melawan ya nduk.. nanti kamu bisa mati di bedil"

"Aku lebih baik mati daripada harus mengalami hal seperti itu lagi.." kataku lirih.

"Sabar nduk... ingat Ibuk yang menunggumu pulang, mereka mengharapkanmu hidup"

Terdiam aku dalam tangis. Ibuk, semoga Ibuk dalam keadaan sehat wal'afiat dan semoga mas Tegar masih sering mengunjungi dan membantu Ibuk.
Mas Tegar, deras air mataku mengalir mengingat wajahnya. Aku malu dengan diriku yang sudah kotor ini, akankah dia sudi menerimaku kembali ketika aku pulang nanti?
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari neraka untukku, mereka tidak memberiku kesempatan untuk sekedar beristirahat, mereka menyeret tubuh lunglai-ku untuk dibawa ke kamar itu, dan dengan tatapan kosong aku tak mampu menghentikan mereka bergantian meniduriku dengan buas, aku seringkali pingsan ketika dikembalikan ke barak dan tak jarang kudapati biru lebam ditubuhku.

Suatu saat aku mengalami pendarahan hebat, setelah beberapa bulan tidak datang bulan, aku ditempatkan di barak lain, mungkin aku mengalami keguguran, di saat itu aku merasakan sakit yang bukan kepalang, rasanya aku tidak tahu apakah aku sudah mati atau masih hidup. Aku dibiarkan selama beberapa hari, tapi berikutnya aku dikembalikan ke barak semula, menanti siapa berikutnya yang menyeretku kekamar itu.
Aku tidak tau sudah berapa lama aku berada di sini.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, seolah tak ada harapan untukku pulang. Ingin ku minggat dari barak ini menembus barikade para penjaga dan kemudian mereka membedilku mati, mungkin itu lebih baik. Akan tetapi Surti selalu mengingatkanku ketika aku mulai putus asa, dan hanya bayangan wajah Ibuk yang menyemangatiku untuk terus hidup. Aku mau membantu Ibuk mencari kayu bakar untuk masak, memetik sayuran dibelakang rumah, memasak dan mengantarkan makanan ke sawah untuk Ibuk dan mas Tegar. Akankah semua hal manis itu dapat terulang lagi.

***
Suatu hari para serdadu itu menggiring kami keluar barak, kabarnya para serdadu ditarik mundur dari negeriku. Kami dipulangkan. Surti memelukku erat sebelum naik keatas gerbong kereta yang akan membawa pulang ke kampung kami masing-masing.

***
Kereta yang membawa ku tiba di stasiun kereta di kampungku. Lunglai aku menuruni tangga kereta. Kutatap nanar wajah Ibuk yang basah dengan air mata, Ibuk memelukku, aku diam tak bergeming.

"Kamu pulang nduk.."

Kulihat guratan-guratan di wajah Ibuk yang kian jelas, mengguratkan penderitaan yang dalam.

"Buk, masih pantaskah aku hidup setelah para serdadu itu menghabisiku.."

Lirih aku berusaha memberitahu Ibuk apa yang aku alami bertahun-tahun di barak-barak serdadu itu.
Ibuk tidak mampu berkata-kata, hanya tangisannya meledak, kami menangis berpelukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun