HADIAH TERINDAH
Karya: Enok Ratnayu
Agustus 2005. Belum genap sebulan aku pindah ke Malang, mengikuti suamiku yang tugas di Kota Apel; aku sudah mendapat hadiah yang sangat berharga dari Tuhan. Aku katakan sangat berharga karena sebelumnya, sedikitpun tak pernah kubayangkan.
Pagi itu kurang lebih pukul sembilan, aku sholat dhuha. Sengaja kusempatkan dhuha karena aku punya keyakinan sholat ini adalah pembuka rezeki. Walau pekerjaan rumah belum tuntas aku ingin menyelesaikan dulu dua belas rakaat dhuha.
Memang, semenjak kepindahanku ke Malang aku meerasa selalu gundah-gulana. Aku merasa jiwaku terbelah dua, antara ibu yang kutinggal di kampung dengan suamiku yang sekarang aku ikuti.
Setelah enam tahun pernikahan kami yang selalu terpisah jarak, akhirnya kuputuskan untuk menyusul suamiku tercinta walau ibuku tak meridhoi. Agamaku memberi tuntunan bahwa perempuan yang sudah menikah adalah milik suaminya. Orang tua sudah menjadi nomor dua setelah suami. Dengan dasar tersebut, kutinggalkan kampungku dan ibu. Aku pergi naik bus dengan dua balita tanpa pengantar dan juga tanpa penjemput.
Suamiku yang berprofesi sebagai anggota TNI tidak mendapat izin walau hanya sekadar menjemput. Hal ini menambah ibu marah yang sejak awal sudah tidak meridhoi. Mungkin luka ibu akan sedikit terobati jika aku anak tertua juga perempuan satu-satunya dijemput suamiku sambil memohon izin dan restu bahwa aku akan dibawanya ke tempat dia bertugas. Tapi suamiku tercinta tidak bisa melakukannya.
Ibuku yang walaupun sholat lima waktunya tidak pernah ketinggalan, masih selalu bertanya dan mempercayai orang pintar. Dalam terawangannya orang pintar kepercayaan ibu mengatakan bahwa kalau aku memaksa pergi ke Malang itu sama dngan menjemput "gempa". Gempa yang dimaksud tentu saja bukan gempa bumi atau bencana alam, namun bisa berupa rangkaian musibah.
Sebagai orang yang pernah mengaji sejak kecil. Aku menepis dan tidak mempercayai ramalan dalam bentuk apapun. Ini musyrik. Yang tahu masa depan hanya Allah. Dengan tekad bulat aku hijrah demi keutuhan keluarga.
Namun demikian, kadang ucapan ibu selalu terngiang, "Teh, kalau teteh memaksa juga pergi ke Malang, kata Pak Haji Didin pun sama dengan menjemput kemalangan; tempatnya saja bernama
Malang, artinya kan tidak beruntung!" Tapi sekali lagi aku selalu menepisnya. Dan Aku ingin meminta perlindungan pada Allah, hanya pada Allah.