Nasib kelas menengah ya? Memang, inilah kelas yang bisa dikatakan: hidup segan, mati tak hendak
Ketika salah satu calon presiden (capres) pada pemilu lalu, dalam sebuah acara menyebut-nyebut soal kelas menengah, khususnya di sektor pendidikan, terus terang saya jadi ikutan bersemangat.
Menurut capres ini, kelas menengah adalah yang paling bingung kalau soal biaya pendidikan dan tentu saja harus mendapatkan perhatian lebih.
Biaya pendidikan buat anak orang kaya tentu sudah jelas. Mereka bahkan tak memerlukan sama sekali peran negara. Biaya pendidikan buat anak-anak mereka terjamin. Jangankah sekolah atau kuliah di Indonesia, kuliah mau ke belahan dunia manapun tentu saja dana tersedia saja.
Demikian pula dengan mereka yang benar-benar miskin atau masuk golongan berpenghasilan di bawah. Bantuan negara dan swasta bertebaran (asal mau dan sedikit mau repot).
Dari negara misalnya, buat yang kuliah, ada Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau beasiswa bidik misi. Belum lagi beasiswa dari berbagai perusahaan/lembaga dalam bentuk CSR atau semacamnya.
Biaya pendidikan untuk anak-anak dari orang tua kelas menengah? Hmmm, agak membingungkan sih. Apalagi bila prestasinya tidak menonjol-menonjol amat. Masuk kategori miskin, tentu saja tidak.
Bahkan tentu akan malu banget kalau sampai ikut-ikutan mengurus surat tidak mampu hanya buat bayar biaya kuliah, misalnya.
Apalagi kalau suami-istri tampak bekerja dan sedikit takut juga, kalau -kalau mengurus surat tak mampu lalu beneran nggak mampu (miskin) di kemudian hari.
Kemudian dengan prestasi yang biasa-biasa saja, juga tak masuk dalam jaringan siswa/mahasiswa berprestasi, dan bingung mau ikut beasiswa siswa/mahasiswa berprestasi. Serba salah jadinya.