Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah resmi meniadakan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan melalui Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2021. Surat Edaran yang ditandatangai Mendikbud pada tanggal 1 Februari 2021 tersebut juga disertakan bagaimana pelaksanaan Ujian Sekolah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid -19.
Menindaklanjuti surat edaran tersebut, Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Surat Edaran Nomor: B-298/DJ.I/PP.00/02/2021 memutuskan juga meniadakan Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN). Ujian ini khusus untuk mata pelajaran agama, yaitu Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Al Quran Hadist, Akidah Akhlak, Fiqih dan Bahasa Arab.
Sebagai konsekuensi keputusan tersebut, selanjutnya mekanisme kelulusan peserta didik tahun pelajarn 2020/2021 ini ditentukan oleh tiga syarat. Pertama, peserta didik menyelesaikan program pembelajaran pada masa pandemi covid-19 yang dibuktikan dengan nilai rapor tiap semester. Kedua, mempunyai nilai perilaku minimal baik. Dan ketiga, mengikuti ujian sekolah atau madrasah yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan.
Keputusan ini menurut saya merupakan terkabulnya doa-doa guru di tanah air kita. Bila tahun-tahun sebelumnya nyawa kelulusan peserta didik ada di leher ujian nasional. Guru tidak berhak membuat soal meskipun gurulah yang paling tahu dengan kondisi anak didiknya. Bahkan guru juga tidak mempunyai kewenangan sama sekali dalam memutuskan nilai di lembar Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN).
Pandemi covid-19 memberi hikmah bagi guru untuk menujukkan bahwa guru mempunyai kemerdekaan untuk mengajar, mendidik dan menilai peserta didik sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat.
Dengan dihapuskannya ujian nasional, memberi keleluasaan bagi guru untuk menjawab apa yang diinginkan peserta didik. Guru mendapat kelonggaran untuk memberikan setiap solusi terhadap permasalahan anak.
Ketika ujian nasional sebagai penentu kelulusan, bentuk soal yang diberikan peserta didik sama. Padahal permasalahan internal dan eksternal yang dihadapi peserta didik dari masing-masing satuan pendidikan berbeda.Â
Tentu tantangan dan harapan peserta didik pun berbeda pula. Peserta didik yang tinggal di daerah pantai, pegunungan dan perkotaan jelas berbeda tuntutan sosial dan budayanya.
Sementara itu isu perkembangan pendidikan di tingkat dunia mengharuskan peserta didik untuk mampu berpikir kritis dan analitis sesuai dengan standar internasional tuntutan kehidupan masa depan. Oleh karena itu, standar penilaian juga harus mengalami perubahan, yaitu dengan mengedapankan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Penilaian hasil belajar diharapkan dapat membantu peserta didik meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thingking Skills). Sehingga apa yang telah dipelajari peserta didik dapat mendorongnya untuk menghubungkan materi pelajaran dengan kebutuhan dunia nyata. Â
Disisi lain hasil studi internasional Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2015 dan 2018 menunjukkan bahwa prestasi literasi membaca, literasi matematika dan literasi sains yang dicapai peserta didik masih rendah.