Aku terus berusaha merayu suamiku, selama itu pula suamiku belum memberikan izinnya kepadaku. Bahkan aku sempat marah, karena menurutku suamiku itu egois. Tidak perhatian dengan kebahagiaanku.
Suamiku memang sangat mementingkan keluarga, sebenarnya aku tahu itu. Namun aku tetap saja berharap suatu saat akan luluh, dan mengihlaskanku menerima beasiswa dari kantor.
***
"Mas Pono," terdengar lagi jeritan wanita di sebelah ruang tempatku di rawat. Kali ini suaranya lebih tinggi dari yang sebelumnya. Setelah itu lenyap. Namun terdengar suara seorang yang berjalan cepat dengan mendorong tempat tidur keluar dari ruangan. Selanjutnya disusul oleh beberapa langkah kaki di belakangnya.
"Maaf ya Bu, ini agak sakit, Ibu tahan sebentar ya," aku hampir tidak merasakan bahwa saat ini kakiku sedang disuntik bius.
Aku pegang tangan suamiku erat-erat, sakit karena luka di kakiku ini tidak sebarapa dibanding sakitnya kepedihan wanita itu karena harus kehilangan orang dicintainya. Aku akan berbakti kepada suamiku, karena aku tidak tahu kapan ajal akan menjemput kami.
Yang pasti aku ingin mengabdikan sedetik napasku menjadi embun keluargaku, yang mampu menyejukkan kegersangan. Aku ingin mengabdikan sedetik napasku menjadi rembulan, yang akan menjaga penat lelah suamiku setelah seharian terpapar matahari. Aku juga ingin mengabdikan sedetik napasku menjadi senja, yang akan memberi aroma jingga dan kemuning pada sudut keheningan rumahku.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah memberikan aku suami dan ayah terbaik untukku dan anak-anakku, aku belum siap bila harus kehilangan.
Blitar, 22 November 2020
Enik Rusmiati