Mendengar ratapan dan tangisan yang menyayat dari ruang sebelah karena hanya bersekat dengan kain kelambu, menjadikan suasana di seluruh ruangan ini terdiam. Alat-alat medis yang berada di sudut ruangan ini seolah menjadi saksi kepiluan wanita belia menghadapi perjuangan antara hidup dan mati orang yang dicintainya.
Terdengar suara benturan ringan dan perintah halus sang dokter saat melaksanakan tindakan cepat terhadap pasien. Tanpa kesepakatan, aku dan suamiku terdiam. Kami berdua seperti terhipnotis oleh tangisan dan rintihan wanita itu. Tiba-tiba ada ketakutan yang menyeruak ke sekujur tubuhku. Ketakutan tentang sebuah kehilangan orang tercinta.
Aku melihat wajah suamiku yang tertunduk, aku lihat bibirnya mengucap zikir lirih. Sesekali pandangan kami bertatapan. Aku yakin dalam pikiran suamiku pun berkecamuk hal yang sama.
Bagaimana kalau aku berada di posisi sebagai wanita itu. Ya Allah, panjangkan umur suamiku. Beri aku waktu lebih panjang agar bisa membersamai suamiku dalam suka dan dukanya.
Maafkan aku Mas, kalau hari-hari kemarin aku sering membantah keinginanmu, maafkan aku yang selalu ingin menang sendiri, batinku
***
"Mas, izinkan aku menerima beasiswa ini ya Mas, aku mohon."
"Terus bagaimana dengan anak-anak, mereka kan masih kecil, masih butuh perhatian mamanya."
"Kan ada ibu, mbak Mila dan dek Syifa Mas, mereka pasti mau dimintai tolong jagain anak-anak."
"Tapi mereka kan bukan mamanya Dik," jelas suamiku dengan lembut. "Lagian mereka kan juga sudah punya keluarga sendiri, nggak enak kan kalau setiap hari harus ngrepotin mereka."
"Sayang lo Mas, kalau tidak diambil, ini demi karir aku, hanya dua tahun, aku kan masih bisa betemu dengan mereka, toh nanti untuk keluarga juga kan Mas."