Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setuju Full Day School, Asal...

9 Agustus 2016   19:31 Diperbarui: 10 Agustus 2016   08:43 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keceriaan anak sekolah saat berangkat. Kompas.com

Bukan rahasia umum bagi negeri ini. Ganti menteri, ganti pula kebijakan. Masil lekat dari ingatan ketika Menteri Pendidikan Anies Baswedan meluncurkan program mengantar anak di hari pertama sekolah. Belum lagi ada evaluasi atas program ini, muncul pula pergantian kepada Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy yang sudah ancang-ancang membuat program baru, Full Day School (FDS) alias sekolah sehari penuh.

Sebenarnya, ini bukan program baru. Di hampir semua daerah di Indonesia, ada saja sekolah unggulan yang menerapkan sekolah sehari penuh ini. Masalahnya, program ini akan diberlakukan untuk semua murid SD dan SMP baik negeri maupun swasta. Sementara faktanya, masih banyak sekolah yang belum memiliki ruang kelas memadai, sehingga harus berbagi antara kelas pagi dan sore. Jika kebijakan ini langsung diterapkan, praktis akan ada persoalan yang tidak mudah dipecahkan.

Untuk menjalankan program sekolah satu hari penuh, harus dipersiapkan dari mulai infrastruktur sampai soal guru dan pengasuhnya. (dokumen pribadi)
Untuk menjalankan program sekolah satu hari penuh, harus dipersiapkan dari mulai infrastruktur sampai soal guru dan pengasuhnya. (dokumen pribadi)
Ada pula sekolah yang ruangannya berbagi dengan jenjang lainnya. Misalnya pagi digunakan untuk jenjang SMP, siangnya digunakan untuk SMA. Jika kemudian diterapkan sekolah satu hari penuh, jelas akan ada yang dikorbankan. Ini baru dilihat dari sisi infrastruktur.

Lantas bagaimana dari sisi lainnya, seperti tenaga pengajar atau guru. Apalagi berbicara sekolah satu hari penuh, tidak hanya membutuhkan guru. Sekolah juga membutuhkan kehadiran pembimbing, baik itu di bidang seni, budaya, olahraga, lebih-lebih masalah moral dan agama.

Apakah full day school memang benar-benar sistem sempurna? Jelas tidak ada sistem yang sempurna, tapi boleh jadi terbaik. Sebab sempurna itu hanya milik Allah, juga milik Andra & The Back Bone, he he he. Karena itu, izinkan saya menyajikan beberapa fakta yang muncul di ruang praktik saya sebagai praktisi hipnoterapis.

Tiga bulan terakhir, sedikitnya saya menangani 7 klien yang merupakan ‘korban’ dari sistem sekolah sehari penuh. Dari mulai usia anak-anak, maupun yang sudah dewasa.

Saya ambil contoh kasus seorang siswi kelas 4 SD sebuah sekolah unggulan di Kaltim, yang tiba-tiba memiliki rasa cemas berlebihan. Orang tuanya panik karena tiba-tiba anak menjadi sangat penakut. Saat proses terapi, saya menjumpai akar masalah, anak ini ketika masih kelas 3, sempat dihukum karena terlambat menjalankan salat ashar oleh pengasuhnya.

Hukumannya mungkin dianggap sepele, yakni menghafal salah satu surah pendek Alquran di juz 30. Namun, hukuman inilah yang menjadi pemicu rasa cemas hingga terus menggelinding bak bola salju semakin membesar. Hingga terakhir, rasa cemasnya membuncah saat menjalani hukuman membersihkan meja makan, gara-gara makanan yang disiapkan tidak ia makan, karena sama sekali tidak selera.

Beralih ke kasus lain, seorang siswa kelas 2 SMP tiba-tiba tidak mau lagi pergi sekolah. Padahal, liburan sudah usai. Sebelumnya siswa ini bahkan diajak berlibur ke luar negeri oleh kedua orang tuanya. Sangat menyenangkan. Namun ketika sekolah mulai masuk, ia enggan sekolah dengan berbagai alasan.

“Sempat empat kali dibawa ke psikiater, dikasih minum obat, bahkan sampai diruqiyah tiga kali. Tetap tidak mau sekolah,” tutur orang tua siswa ini.

Melalui metode hipnoterapi, muncul fakta di pikiran bawah sadar bahwa rasa takut ke sekolah disebabkan oleh kejadian dibentak oleh guru olahraga. Seperti biasa, di sekolah sehari penuh ini, di antaranya diisi waktu dengan olahraga. Naas, klien ini lupa membawa training olahraga. Walhasil, siswa ini dibentak oleh sang guru yang memang dikenal tegas.

Bagi murid lain, mungkin bentakan itu dianggap biasa. Namun bagi siswa ini, dia merasa harga dirinya hancur dan dipermalukan di depan teman-temannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun