Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pria Ini 10 Tahun Sempat Bergantung Obat Antidepresan

5 Agustus 2016   14:36 Diperbarui: 5 Agustus 2016   14:47 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis (kiri) dan Yana Hendayana (kanan) di RM Riung Panyaungan.

Hampir sepekan berada di Bandung – Jawa Barat untuk mengikuti event Pekan Olahraga Nasional (Porwanas) XII, akhir Juli 2016 tadi, saya berkesempatan kenal lebih dekat dengan Yana Hendayana. Beliau adalah sahabat saya, pernah sama-sama mengikuti workshop Quantum Life Transformation (QLT) di Tretes – Pasuruan – Jawa Timur.

Kenal sejak akhir 2014, selama itu pula komunikasi hanya dilakukan melalui media sosial. Itu pun tidak intens. Lebih sering basa-basi bertanya kabar, atau sesekali diskusi tentang teknologi pikiran.

Begitu mendengar saya berada di Bandung, beliau langsung mendatangi tempat saya menginap. Keesokan harinya saya bahkan langsung ‘diculik’ dibawa ke kediamannya di kawasan Jalan M Thoha Bandung. Di tempat tinggal sekaligus menjadi tempat usaha kulinernya, Djongko, saya dijamu secara spesial. Semua menu andalan dikeluarkan, dan wajib mencicipi.  

Tak hanya itu, ‘penculikan’ pun berlanjut ke kawasan Ciherang. Saya dibawa ke Rumah Makan Riung Panyaungan. Rumah makan yang ia dirikan sejak 1996 itu, suasanya sangat nyaman. Tempat makan berupa puluhan saung yang berdiri di atas lahan satu hektare itu, benar-benar membuat siapa saja betah menikmati suasananya. Sawah di sekeliling rumah makan dengan suhu udara yang cukup sejuk, membuat pengunjung semakin betah berlama-lama.

Di tempat ini pula, semua masakan andalan juga dikeluarkan. Lagi-lagi, saya wajib melakukan eksekusi terhadap semua makanan ini. Mau tidak mau, saya harus negosiasi dengan bagian diri saya yang mengatur berat badan, agar memberikan izin menyantap makanan ini. Dari mulai nasi liwet dengan cabe gendot, gurame bakar, karedok, ayam kampung goreng, ikan asin balado, daging gepuk, oseng dorokdok dengan bahan utama kerupuk kulit sapi.

Khusus nasi liwet, bagi Anda yang ingin makan di sini, sebaiknya pesan dulu. Sebab, perlu waktu 1 jam untuk membuat nasi liwet yang benar-benar membuat ketagihan. Apalagi ternyata beras yang dipakai juga hasil tanaman sendiri, lokasinya sawahnya tak jauh dari rumah makan ini.

Ada pula iga bakar, sayur lodeh, sayur asem dan lalapan pendukung lainnya. Itulah pertama kali lidah saya seolah puas berpesta karena berhasil menikmati semua makanan yang rasanya benar-benar maknyus.

Tapi siapa sangka, tiga tahun lalu, Pak Yana justru sering merasa tersiksa ketika berada di rumah makan ini. “Kadang tiba-tiba saya nangis ketika lihat banyak orang yang makan di tempat ini. Kalau sudah begitu, saya biasanya langsung minum Xanax. Habis minum obat, langsung bisa tertawa lagi,” kenang Yana sembari terus menyantap suguhan istimewa, resep warisan dari ibundanya itu. Namun efek obat itu hanya sesaat. “Nanti sembuh, ngga lama ya kambuh lagi, jadi tidak bisa permanen,” jelasnya.

Tak terasa, lebih 10 tahun pria berdarah Sunda ini harus selalu menyimpan obat antidepresan tersebut. Sebab, rasa aneh dalam dirinya tak tahu kapan akan muncul. “Kadang lihat nasi aja bisa nangis. Lihat ikan di kolam saja saya bisa nangis sendiri. Entah kenapa?” ujarnya.

Emosi labil yang tiba-tiba meledak itu jelas membuatnya bingung. Kalau sudah seperti itu, badannya kadang menggigil dan dia hanya bisa meringkuk, berusaha menghangatkan tubuhnya. Persis efek sakau yang dialami pengguna obat terlarang. Kalau sudah seperti ini, beliau praktis tidak bisa beraktivitas apa pun.

Itu pula alasan psikiater yang mendampingi dirinya, memberikan obat antidepresan, agar emosi pria ini tidak sampai membuncah semakin parah. Tak hanya psikiater. Entah sudah berapa banyak pengobatan tradisional juga dilakoni. Berbagai ‘orang pintar’ juga pernah disambangi demi mencari kesembuhan atas dirinya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun