Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Penyebab Korban Pedofilia Melakukan Hal yang Sama ketika Dewasa

4 Maret 2017   00:47 Diperbarui: 5 Maret 2017   04:00 3201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: psikologiku.com

Penjahat kelamin, menjadi momok yang semakin menakutkan. Terutama para predator seks pedofilia yang mengincar anak-anak laki-laki, untuk memuaskan syahwatnya. Anehnya, para pelaku pedofilia, di masa lalu ketika masih anak-anak, juga merupakan korban dari kejahatan yang sama.

Lantas kenapa ini bisa terjadi lagi? Bukankah sebagai korban pedofilia di masa lalu, mestinya dia sadar betul bagaimana dampak yang dirasakan. Saat menjadi korban, semestinya sudah memahami benar bagaimana rasa sakit hati yang sudah ia rasakan. Begitu banyak hal negatif yang sudah dialami saat menjadi korban, lalu kenapa harus melakukan hal yang sama kepada orang lain?

Apalagi pelaku yang sudah pernah menjalani hukuman dan ternyata mengulangi perbuatannya lagi. Apakah hukuman yang sudah dijalani tidak memberikan efek jera?

Jawaban atas pertanyaan di atas memang susah-susah gampang, atau gampang-gampang susah. Karena sulitnya mencari jawaban atas pertanyaan di atas, maka tak heran jika belum ditemukan formula tepat untuk menangani pelaku, termasuk membantu memulihkan trauma pada korban.

Sempat muncul wacana kebiri atas para penjahat kelamin ini. Apakah itu efektif? Sepertinya belum tentu efektif. Karena harus diingat, menangani manusia tidak bisa setengah-setengah. Penanganan harus dilakukan seutuhnya.

Seutuhnya yang dimaksud di sini adalah baik fisik maupun psikis. Tubuh dan pikiran harus ditangani secara intensif dan komprehensif, agar seluruh bagian diri dari korban maupun pelaku, benar-benar melepas memori atas kejadian ini.

Apa yang disampaikan di sini berdasarkan temuan di ruang praktik hipnoterapi berbasis teknologi pikiran yang rutin saya lakukan. Sebagai contoh, saya pernah menangani klien pria, usia 19 tahun. Dia memiliki kecenderungan suka terhadap sesama jenis.

Saat proses analisa di pikiran bawah sadarnya, pada kedalaman profound somnambulism (kedalaman pikiran yang sangat presisi untuk melakukan terapi), ditemukan fakta bahwa saat usia 6 tahun, pernah disodomi oleh anak-anak yang usianya lebih tua dari dirinya. Selain itu, fakta yang lain yang muncul adalah, pelaku sodomi terhadap dirinya itu, sebelumnya juga merupakan korban sodomi dari pria lain yang lebih dewasa pula.

Lalu bagaimana mengatasinya? Pembaca yang budiman, di dalam diri setiap manusia, sebenarnya merupakan kumpulan dari banyak bagian diri (ego personality/EP) yang memegang peranan berbeda-beda. Di kelas 100 jam Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH), Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, saya mendapatkan materi khusus tentang ego personality ini.

Nah, pemahaman tentang ego personality inilah yang sangat membantu proses terapi terhadap korban maupun pelaku pedofilia ini. Pada korban pedofilia, saya tidak hanya berurusan dengan ego personality korban yang mengalami trauma atau sakit hati. Sebab, disadari atau tidak, sebenarnya ada ego personality lain pada diri korban yang muncul saat proses pelecehan seksual terjadi. Apa itu? Dia adalah ego personalityatau bagian diri yang menikmati.

Meski mengalami trauma, ternyata ada bagian diri lain dari korban yang memang menikmati. Baik itu dari sensasi fisik yang dirasakan, maupun response fisik lain yang dianggap nyaman. Maka, proses terapi mau tidak mau bukan hanya menghilangkan rasa traumanya, tapi juga harus menyentuh bagian yang menikmati tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun