Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beli Makanan Tak Harus Enak dan Ramai

6 Agustus 2021   23:28 Diperbarui: 7 Agustus 2021   09:44 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pedagang kecil (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)

Tak lama, saya izin pamit pulang. Di perjalanan, sembari menyusuri jalan-jalan Samarinda, menikmati suasana malam dan mengamati aktivitas masyarakat. Senang rasanya melihat pedagang sedang melayani pembeli. Namun ada juga yang terlihat sepi.

foto ilustrasi: oxfam
foto ilustrasi: oxfam

Sesaat, mata malah tertuju pada pedagang bakso yang menjajakan dagangannya dengan cara dipikul. Dia sedang sedang ngaso. Duduk jongkok di depan sebuah toko kelontong, sekadar mengatur nafas. Waktu sudah lebih dari pukul 22.00 Wita, namun dagangannya belum habis. Sementara, biasanya pedagang bakso seperti ini sudah berjualan sejak menjelang siang.

Entah kenapa, tiba-tiba nurani tergerak. Walau tidak lapar, stang motor refleks putar balik. Menghampiri pedagang yang sedang ngaso ini. Si pedagang ini seketika tersenyum, walau tetap tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya.

Saya minta bungkus satu porsi. Karena tidak lapar, saya hanya minta porsi biasa Rp 10 ribu. Tanpa diminta, pedagang ini memisahkan antara kuah dan isi baksonya. Dengan cekatan, satu bungkus bakso sudah berpindah tangan.

Saya memang tidak membawa dompet. Apalagi niat awal hanya keluar untuk pangkas rambut. Tersisa di kantong celana hanya selembar uang Rp 50 ribu. "Tak usah dikembalikan ya pak," ucap saya lirih. "Jangan pak, jangan," balas si pedagang.

"Ngga papa, pak," saya mencoba meyakinkan. Terlihat tubuhnya seketika membungkuk, menyampaikan ucapan terima kasih. Segera saya pacu kembali motor. Dari spion terlihat, si pedagang melanjutkan perjalanannya pulang.

Sahabat, tulisan ini tidak berniat apa-apa. Apalagi kalau dilihat dari nilai sedekahnya, malu rasanya. Sangat kueciiiiil sekali dibandingkan para dermawan di luar sana. Namun, yang ingin saya sampaikan adalah, terkadang, kita sesekali harus membeli makanan yang mungkin kita tahu kurang enak.

Tapi bakso yang saya beli itu juga enak lho. Rasanya juga sama dengan bakso tak jauh dari tempat tinggal saya, yang selalu ramai pembeli.

Sesekali, mari kita cari pedagang yang memang jarang pembeli, untuk membantu dia dan keluarganya bertahan hidup. Yakinlah, hasil jerih payahnya bukan untuk dirinya sendiri. Pasti ada beberapa perut lain yang harus diisi setiap hari.

Sahabat semua, mari kita bersyukur atas apa yang sudah kita miliki. Jika mau berhitung dan membandingkan, pasti masih ada orang lain, yang jauh kurang beruntung dibanding sahabat semua saat ini.

Bagaimana menurut Sahabat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun