Hari belanja online nasional biasanya ditunggu-tunggu masyarakat. Iming-iming harga murah dengan promo yang seabrek, tentu membuat siapa saja yang melihatnya auto tertarik untuk berbelanja. Lantas, benarkah barang yang dibeli itu benar-benar dibutuhkan, atau hanya sekadar keinginan saja?
Di dalam otak manusia, sudah tersemat piranti yang sangat luar biasa yaitu SPR alias sistem pengaktifan retikuler. Piranti inilah yang setiap hari bekerja mengakses data atau informasi yang berkeliaran di sekeliling kita.
Setiap hari, manusia menerima data atau informasi sedikitnya 600 juta bit. Tentu tidak semua data atau informasi itu mampu diserap dengan baik oleh otak. Nah, tugas SPR-lah yang menyaring semua data dan informasi. Hanya data atau informasi yang dibutuhkan saja, yang kemudian diserap dan disimpan oleh SPR.
Cara kerja itulah yang diadopsi oleh teknologi saat ini dengan istilah kecerdasan artifisial alias artificial intellegence (AI). Ketika seseorang mencari kata tertentu di mesin pencari seperti google, maka tugas google kemudian memetakan data pencarian tersebut sebagai sebuah data penting. Maka tidak heran, iklan-iklan yang berhubungan dengan data yang dicari akan berseliweran.
Begitulah cara kerja SPR, dia hanya mengakses data informasi yang dibutuhkan saja. Ketika seseorang tiba-tiba ingin barang tertentu. Apalagi levelnya sangat ingin, maka SPR akan merekam data itu. Anehnya, di kehidupan nyata, seolah-olah barang itu tiba-tiba banyak bermunculan. Ini karena SPR sudah bekerja menyuguhkan informasi sesuai dengan kebutuhan tadi.
Sebagai contoh, jika seseorang menginginkan memiliki mobil jenis A misalnya, tiba-tiba di jalanan, begitu banyak mobil A berseliweran. Meski sebenarnya ada banyak jenis mobil lain, namun mobil lain itu diabaikan oleh SPR. Hanya mobil A saja yang direkam datanya oleh SPR, sesuai perintah.
Nah, SPR ini pula yang menyebabkan seseorang sulit menahan dirinya untuk belanja secara online. Apalagi, jika ada iming-iming harga murah atau diskon. Hasrat untuk memiliki barang itu akan semakin tinggi.
Sebab, yang muncul di pikiran hanyalah 'keuntungan' bisa memiliki barang dengan harga lebih murah. Anda tidak lagi berpikir akan kehilangan uang dalam jumlah tertentu karena membeli barang itu. Kehilangan uang itu otomatis tertutupi dengan rasa 'untung' tadi.
Setelah berhasil beli barangnya, apakah benar-benar puas dan merasa untung? Adakah merasa menyesal, atau menemukan fakta bahwa barang itu jarang digunakan? Apalagi barang itu memang bukan kebutuhan primer, melainkan hanya untuk gaya hidup.
Lebih menyesal lagi jika setelah membeli barang, ternyata uang yang digunakan untuk membeli barang itu, seharusnya untuk kebutuhan lain yang lebih penting. Misalnya untuk membayar uang sekolah, atau menambah modal usaha.
Lantas bagaimana cara menekan hasrat belanja? Minimalkan interaksi dengan situs belanja daring (online). Semakin sering membuka situs belanja online, maka Anda sedang membiarkan SPR bekerja semakin kuat untuk meningkatkan keinginan belanja.