Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Dampak Membahayakan dari Stiker Keluarga Miskin

28 April 2020   18:51 Diperbarui: 29 April 2020   11:02 1904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SPR hanya menyaring informasi yang kita butuhkan saja dan memang dibutuhkan. SPR lah yang menjadi perantara antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.

Jika informasi yang dibutuhkan sudah masuk pikiran bawah sadar, maka selanjutnya tubuh akan diperintahkan melakukan tindakan fisik yang diperlukan untuk memberikan respons selaras dengan perintah yang diberikan sebelumnya oleh SPR.

Inilah bahayanya, ketika SPR hanya menerima informasi 'miskin'. Maka program inilah yang akan dijalankan. Sebab SPR bekerja secara otomatis sesuai perintah. Jika SPR bekerja berlebihan, maka tubuh akan membuat respons siaga, mudah baper, gelisah, panik hingga stres.

Maka jangan heran jika ada yang ketergantungan obat tidur hingga narkoba. Salah satu efek dari penggunaan obat terlarang itu adalah agar SPR tidak terlalu banyak bekerja alias disuruh tidur nyenyak.

Maka jangan heran jika sebagian orang bisa selalu melihat peluang, sementara ada juga yang selalu memandang semua hal sebagai kesulitan.

Ketika Anda yakin bahwa sukses dan bahagia bisa dicapai dengan mudah dan nyaman, maka SPR hanya akan bekerja, merespons dan menyaring informasi yang mendukung pendapat itu.

Atas dasar uraian di atas itulah, sangat berbahaya menempelkan stiker 'miskin' pada keluarga yang benar-benar miskin. Walau sebenarnya stiker itu sangat tepat untuk menakuti mereka yang pura-pura miskin.

Ada baiknya kalimatnya bisa diganti dengan keluarga belum mampu, atau belum sejahtera. Bisa juga disebutkan belum kaya. Sehingga ada harapan bagi keluarga yang miskin tadi mendapatkan program baru untuk naik kelas ke kehidupan yang lebih baik.

Lalu bagaimana jika mereka yang mampu tetap menerima bantuan tadi? Ya ini kembali ke nurani masing-masing. Tapi mereka yang mampu namun masih menerima bantuan, sejatinya mereka sedang menanamkan sendiri program 'miskin' ke dalam pikiran bawah sadarnya sendiri.

Bagaimana menurut Sahabat? (*)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun