Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nyinyir pada Wiranto? Ini Pesan Rasulullah!

12 Oktober 2019   21:18 Diperbarui: 12 Oktober 2019   21:20 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus penusukan yang terjadi pada Wiranto di Pandeglang, Banten, seolah menjadi penegasan terbelahnya persatuan dan kesatuan di negara ini. Betapa tidak. Sementara kasusnya sedang berjalan, perang opini terjadi di belantara maya. 

Tak peduli dengan kondisi Menkopolhukam. Yang  nyinyir semakin menjadi, yang membela pun tak mau dicela. Dua duanya bukan lagi seperti anjing dan kucing. Tapi ibarat api dan angin, dua-duanya semakin menjadi, semakin besar dan membakar.

Lantas, haruskah auto nyinyir  setiap kali mendapati hal-hal seperti ini. Terlepas dari ada tidaknya empati warga negara +62 ini, haruskah ujaran kebencian ditebarkan besar-besaran. Bagaimana mungkin negara ber-flower ini bisa bergeser menjadi negara maju jika perang ideologi semakin menjadi?

Padahal pada kenyataannya, saat menilai orang lain, sejatinya kita sedang menilai diri sendiri. Ini seperti terjadi di masa Rasulullah, Nabi Muhammad SAW.  Suatu hari, Abu Jahal melihat Rasulullah, kemudian berkata, "melihatmu Muhammad, meyakinkanku betapa buruknya keturunan Bani Hasyim."

Rasulullah SAW pun menjawab, "sesungguhnya kamu telah melewati batas, tapi apa yang kamu katakan adalah benar."

Tak lama kemudian, datanglah Abu Bakar. Ketika melihat Rasulullah, Abu Bakar pun berkata, "engkau adalah matahari ya Rasulullah. Sinarmu kuat menyebar ke penjuru bumi."

Rasulullah pun menjawab, "kamu telah berkata benar, ya Abu Bakar."

Para sahabat Nabi Muhammad yang menyaksikan kejadian itu kemudian meminta penjelasan kepada Rasulullah. Rasulullah pun menerangkan, "aku adalah sebuah cermin. Siapa yang melihatku, sebenarnya sedang melihat dirinya sendiri."


Kisah yang sama terjadi pada masa Nabi Isa. Semua orang menghinanya, tapi Nabi Isa menjawab hinaan mereka dengan untaian kata yang indah. Para hambanya yang taat pada Nabi Isa bertanya. Namun Nabi Isa menjawab, "setiap orang, apa yang ada pada dirinya, itulah yang akan ia berikan."

Jika menganggap setiap orang adalah sebuah cermin, maka orang yang ada di depan kita adalah refleksi diri kita sendiri. Orang yang mampu melihat kebaikan, maka baik pula pikirannya, dan hidupnya akan dipenuhi kebahagiaan.

Sama halnya ketika dua orang sedang berada di sebuah taman. Orang dengan pandangan baik, tentu akan menemukan sebuah taman yang indah, bunga harum semerbak, kicauan burung, dan perasaan nyaman. Namun boleh jadi orang dengan pandangan negatif, akan melihat taman yang sama sebagai tumpukan tanah dan sampah tak berguna.

Dari kisah di atas, ada pelajaran penting yang bisa diambil. Bahwa menilai baik, buruk, bagus atau jeleknya seseorang, tak bisa hanya dilihat dari apa yang tampak kasat mata. Namun, perlu juga melihat seseorang dari sudut pandang yang lain.

Dalam buku Terapi Masnawi karya Prof Dr Nevzat Tarhan asal Turki yang mengupas cara berpikir Syekh Maulana Jalaluddin Rumi, disebutkan bahwa Rumi selalu menggunakan berbagai hikayat agar setiap orang mengambil hikmah atau makna yang terkandung dalam kisah tersebut.

Dalam kisah Abu Jahal dan Abu Bakar yang menilai Rasulullah, tentu sudah jelas bahwa Rumi ingin memberikan gambaran bahwa setiap orang adalah cermin bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain.

Itulah mengapa seseorang harus selalu berprasangka baik kepada teman, sahabat, dan lingkungan di sekitarnya. Sampai kapan, sampai teman dan lingkungan itu sendiri yang merusaknya.

Paling utama adalah buang rasa curiga yang hanya akan membuang energi, karena begitu muncul rasa curiga, seseorang akan semakin mengawasi orang yang ada di sekitarnya. Akibatnya, rasa percaya akan terus berkurang dan menimbulkan perasaan was-was yang semakin bertambah.

Lalu bagaimana jika ada yang bohong, menipu, bahkan mencelakai diri Anda? Itulah risiko dalam hidup. Namun setidaknya hal itu jauh lebih baik ketimbang hidup dalam kecurigaan yang menjadikan diri tidak tenang dan jauh dari rasa bahagia. Sebab, rasa curiga hanya akan menciptakan jarak dalam sebuah hubungan yang sedang dijalani.

Pilpres disambung dengan Pilkada yang terjadi di negeri ini, boleh jadi juga menjadi sebuah cermin besar. Ketika masing-masing pendukung sedang sibuk melakukan penilaian terhadap kubu lawan, sejatinya mereka sedang bercermin dengan dirinya sendiri.

Sebagai contoh, saat menuduh kubu lawan melakukan kecurangan atau menuding kubu lawan melakukan pelanggaran, sejatinya mereka ya sedang bercermin. Benarkah tudingan dan tuduhan itu untuk kubu lawan? Yakinkah bahwa tudingan dan tuduhan itu tidak berbalik pada diri sendiri?

Karena itu, tak heran jika seseorang yang membuat status nyinyir atau menyindir, yang terjadi justru sindiran dan nyinyiran itu akan kembali pada dirinya sendiri. Begitu pula ketika menuding orang lain tidak toleran, bukankah sejatinya tudingan itu juga untuk diri sendiri. Pendek kata, ketika menilai orang lain, sejatinya yang berlaku adalah sedang menilai dirinya sendiri.

Tengok saja yang dilakukan istri mantan Dandim Kendari. Nyinyir atas kasus Wiranto, langsung dibayar tunai dengan pencopotan jabatan suaminya sendiri. Padahal, jika mampu menahan emosi sedikit saja, pasti akan beda hasilnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tinggal diberikan abon dan ayam suwir agar lebih nikmat disantap.

Lantas bagaimana jika ternyata Menkopolhukam Wiranto yang justru diduga melakukan rekayasa? Itu urusan pribadinya. Tetap doakan yang terbaik dan berpikiran positif. Maka semua doa dan harapan itu akan kembali pada diri kita sendiri. Semua ucapan dan tindakan ibarat sebuah bumerang, akan melesat mengenai diri sendiri. Yang membedakan hanya soal waktu. Cepat atau lambat.

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kealpaan, saya pun pernah melakukan hal seperti ini. Pandai menilai orang lain dengan berbagai dalil dan pengetahuan yang saya tahu. Nyatanya, semakin saya melakukan hal itu, saya sendiri tampak semakin bodoh.

Maka saat ini, setiap kali melihat orang lain, anggaplah sedang bercermin dengan diri sendiri. Dengan cara ini, maka akan lebih mudah memperbaiki diri sendiri, dan tidak lagi pusing dengan penilaian orang lain terhadap diri sendiri.

Bagaimana menurut sahabat? (endrosefendi.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun