Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sukses Berkat Motivator? Omong Kosong!

6 Agustus 2019   15:02 Diperbarui: 6 Agustus 2019   15:13 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas sengaja saya gunakan untuk mengabadikan perkataan salah satu sahabat saya. Dia memang seorang pengusaha sukses. Karena itu, dengan tegas dia menyampaikan, semua yang dikatakan motivator adalah omong kosong. Sama sekali tidak ada gunanya. Sebab sukses ditentukan oleh dirinya sendiri, tanpa campur tangan orang lain.

Saya tentu tidak harus marah atau tersinggung mendengar kalimatnya itu. Kenapa? Karena saya memang bukan motivator. Saya hanyalah seorang hipnoterapis klinis yang sering diminta untuk berbagi ilmu tentang teknologi pikiran.

Nah terkait apa yang disampaikan sahabat saya tadi di atas, dia memang benar. Karena saya tahu, selama ini memang dia tidak pernah mengundang trainer atau pembicara untuk berbagi ilmu di kantornya.

Baginya semua itu tidak penting, buang-buang uang. Saya pun mendengar semua alasannya itu dengan penuh takzim. Sama sekali tidak menyela atau membantah. Apa yang mau dibantah? Wong nyatanya usahanya maju pesat. Uang datang sendirinya dengan mudah.

Namun ada yang belum disadari oleh sahabat saya ini. Ada emosi meledak yang terkadang sulit dikontrol. Beberapa kali ketika saya berada di tempat usahanya, dengan mudah dia memarahi bahkan membentak anak buahnya. Tentu saja semua tidak ada yang berani melawan. Demikian pula saya. Hanya menyimak dan tidak berhak ikut campur melihat pemandangan itu.

Saya hanya mencoba menenangkan dirinya ketika anak buahnya sudah tidak ada di hadapannya.

"Sabar bro. Namanya anak buah ya kemampuan dan pengetahuannya hanya sebatas itu. Kalau dia pintar dan jago menjalankan semuanya, ya dia lah yang jadi bos. Ngapain dia kerja di tempat ini, he he," kata saya sembari bercanda.

Dia hanya tersenyum. Tidak langsung memberikan tanggapan. "Almarhum bapakku mengajarkan aku seperti itu. Tidak boleh kalah dan dikendalikan anak buah," ujarnya kemudian.

Akhirnya sepintas bisa diketahui, ada pola menurun yang dilakukan sahabat saya ini. Dia keras dengan anak buahnya karena memang meniru apa yang dilakukan ayahnya.

Sahabat semua, para pembaca yang luar biasa, dalam contoh kasus di atas, tentu ada pilihan. Mau jadi bos, atau pemimpin? Sebab pemimpin yang baik justru akan selalu siap memberikan dukungan kepada timnya untuk kemajuan bersama. Bukan malah menjatuhkan.

Kenapa dalam setiap organisasi, baik itu yang dimiliki orang lain atau milik sendiri, harus ada seorang pemimpin? Keberadaan pemimpin inilah yang diperlukan untuk memperlihatkan blind spot alias titik buta yang tidak mampu dilihat oleh anak buah. Bagaimana mungkin anak buah atau anggota tim bisa langsung hebat tanpa dukungan pemimpinnya yang welas asih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun