Mohon tunggu...
Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Endrapta Ibrahim Pramudhiaz Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemula

Mempunyai keinginan untuk membangkitkan kembali semangat menulis yang pernah ada.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saya Pernah Bermimpi untuk Menjadi Komentator, Namun...

28 April 2021   19:16 Diperbarui: 28 April 2021   19:22 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya ingat sekali kalau salah satu impian saya saat kecil adalah menjadi komentator sepak bola di tv. Bayangkan saja, kamu dibayar untuk berbicara mengenai hal yang digemari, sekaligus bisa menonton tayangannya secara gratis. Satu hal yang pasti, saya selalu menggemari bagaimana para komentator bisa berbicara fakta dan mengutarakan opini mereka dengan lugas di setiap momen pertandingan.

Di situ saya sadar kalau menjadi komentator bisa membuka peluang saya untuk bisa belajar lebih banyak lagi mengenai sepak bola. Saya pun mulai belajar cara meraih mimpi sebagai komentator.

Dengan menganalisis komentator-komentator yang sering saya saksikan, saya mematok standar pribadi untuk menjadi komentator. Pada standar itu, minimal harus memiliki keahlian yang cukup membaca jalannya pertandingan dan wawasan yang luas terhadap isu seputar tim yang sedang bertanding. Alangkah kecewanya saya saat mengetahui kalau standar itu tidak relevan lagi karena kehadiran komentator yang bermodalkan hiperbola di setiap pertandingannya.

Almarhum Bung Yopie Beda selalu dengan senantiasa menghiasi pertandingan Liga Indonesia ini berhasil menambah warna pada pertandingan-pertandingannya. Komentar Alm. Bung Yopie yang tenang dalam setiap menit pertandingannya juga menambah kekhusyukan saya dalam menonton. Deskripsi tiap momen yang terjadi juga beliau jelaskan dengan rinci. Saat ada peluang tercipta, ulasannya berhasil membuat saya terkesima serta ngangguk-ngangguk setuju.

Namun, komentator saat ini cukup menambahkan diksi antah berantah seperti "Babyshark syalalalala", "Umpan 378", "Tendangan LDR," dan lain-lain. Kadang hal itu membuat saya heran, saat interview sebelum jadi komentator itu ada uji kelayakannya atau tidak? Kalau tidak, parah sekali. Untuk menjadi agen asuransi saja, dibutuhkan uji kelayakan sebelum bisa menjadi bagian dari asuransi tersebut.

Saya ingat pertandingan-pertandingan timnas awal dekade 2010-an juga dihiasi oleh komentator yang mengedepankan edukasi dalam penyampaiannya. Edukasi seperti trivia atau fakta-fakta yang belum banyak orang ketahui.

Komentator dengan tipikal komentar seperti itu bisa kita jumpai di Bung Tommy Welly atau lebih dikenal dengan panggilan Bung Towel. Beliau dengan ketenangannya mengulas pertandingan yang berlangsung, berhasil membuat saya larut dalam kalimatnya. Usut punya usut, ternyata Bung Towel memang mempelajari ilmu jurnalistik di kuliahnya. Saya pun tidak heran kalau komentator berkacamata tersebut mampu memiliki kemampuan penyampaian informasi yang baik.

Bung Rendra Soedjono, komentator yang menjadi tandem semua komentator di Indonesia, memiliki ciri khas yaitu melontarkan teriakan histeris saat sedang mengomentari pertandingan. Biasanya, apabila ia dipasangkan dengan Bung Towel, bagian hebohnya ada di Bung Rendra, bagian tenangnya ada di Bung Towel. Dengan begitu, semuanya imbang dan terdengar asyik di telinga.

Meski saya jarang mendengar Bung Rendra berkomentar seperti Bung Towel, komentator beliau saya akui sempurna karena bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi di lapangan pertandingan. Tanpa keluar dari konteks permainan, Bung Rendra bisa menyampaikan hiburan yang berkelas melalui mulutnya.

Kini, semuanya full hiburan. Tidak ada lagi edukasinya. Sekalinya ada pun masih kalah persentasenya dibanding dengan hiburannya. Bayangkan saja, saat ada rekaman ulang sebuah gol yang tercipta, idealnya adalah mengulas gol tersebut dari segi taktik yang dipermainkan oleh tim yang mencetak gol. Komentator yang ini malah membawa-bawa keretakan hati, prahara rumah tangga, sampai ada paripurna yang dibawa-bawa. Ini komentator lulusan acara infotainment silet, kali?

Saya tahu kalau komentator ini mungkin sudah mendapatkan permintaan dari atasannya di televisi untuk menjadi seheboh-hebohnya, namun saya tidak habis pikir saja kalau ternyata ia akan mengikutinya secara mentah-mentah. Sekali dua kali oke, tidak apa-apa. Namun, ini sudah bertahun-tahun sejak polusi suara itu menghiasi tayangan pertandingan sepak bola tanah air.

Seharusnya, ia memanfaatkan pekerjaannya untuk mengajak penonton sepak bola Indonesia yang terkenal akan kefanatikannya itu naik kelas, dengan mulai membiasakan mendengar komentator-komentator yang tidak hanya mengandalkan urat dan berbagai diksi tidak jelas saat pertandingan berlangsung, namun dengan 'daging' yang empuk.

Saya juga cukup khawatir dengan tren komentator hiperbola seperti ini. Karena sepak bola adalah tayangan yang luas dan ditonton hampir seluruh rakyat Indonesia, takutnya mereka mengira kalau menjadi komentator itu cukup dengan modal teriak-teriak tidak berarah setiap ada peluang yang terjadi.

Saya rasa, mimpi saya sebagai komentator sudah tidak sebergairah seperti saat menonton aksi komentator-komentator Liga Indonesia era Indonesia Super League dan Liga Ti-Phone. Dahulu, saya bisa belajar banyak dari tayangan 2 jam tersebut.

Sekarang, tayangan 2 jam itu hanya saya gunakan untuk menaikturunkan volume televisi. Terlebih lagi kalau harus dipasangkan dengan komentator yang hanya mengandalkan teriakan, sepertinya lebih baik saya mengatakan tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun