Mohon tunggu...
Endang Kurniawan
Endang Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang yang punya minat baca dan menulis. Tertarik pada isu pendidikan, ekonomi, sejarah dan sains

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Merdeka, Mutu Pendidikan Indonesia Bakal Meningkat?

23 Juli 2022   23:55 Diperbarui: 23 Juli 2022   23:56 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

11 Februari 2022, Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makariem resmi meluncurkan kurikulum terbaru, yakni Kurikulum Merdeka. Tak lama berselang, segala upaya dilakukan oleh pemerintah melalui kemenbudristek dalam rangka mensosialiasikan kurikulum terbaru ini mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Penyampaian kurikulum ini dilakukan dengan berbagai cara, baik luring maupun daring ke berbagai stake-holder dari kepala dinas, pengawas, kepala sekolah, hingga guru. Tidak sedikit kucuran dana yang digelontorkan oleh pemerintah melalui APBN dalam rangka mensukseskan implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) ini. Tercatat 2, 86 triliun rupiah sudah dikeluarkan hanya utntuk proses pendampingan dan uji coba saja. Tentu dana yang dikeluarkan akan bertambah besar ketika IKM ini diberlakukan secara nasional.

Pertanyaannya sekarang, apakah kurikulum baru ini dapat memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia? Belum tentu!

Kalau kita melihat kebalakang, semarak IKM ini tidak begitu berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Sebut saja ketika penerapan kurikulum 2013 (kurtilas) yang mulai  digaungkan pada 2014 silam. Pada saat itu semangat penerapan kurtilas begitu terasa. Sosialisasi dilakukan dimana-mana, pelatihan terhadap guru-guru, dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam rangka untuk penerapan kurikulum 2013 ini, namun apakah hasil yang didapatkan sebanding dengan upaya yang telah dilakukan?

Setelah kurang lebih tujuh tahun penerapan kurtilas di Indonesia, tampaknya kita belum mendapatkan hasil yang begitu memuaskan. Hal ini bisa kita lihat dari salah satu indikator yang bisa menjadi rujukan untuk mengukur mutu pendidikan di dunia yakni peringkat nilai PISA (Programme for International Student Assesment). Sebagai informasi, PISA adalah sebuah sistem ujian yang diinisiasi oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk mengevaluasi system pendidikan Negara-negara di dunia. Ujian yang diberikan kepada siswa di suatu Negara yakni  berupa tes yang berfokus pada tiga kompetensi dasar  yaitu membaca, matematika, dan sains. Dari hasil tes PISA yang pernah diikuti oleh siswa Indonesia, menunjukan hasil yang kurang membahagiakan. Di tahun 2012, ranking nilai PISA Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara. Hasil tidak jauh berbeda pada tahun 2018, peringkat PISA Indonesia berada pada urutan ke-74 dari 79 negara di dunia. Data ini menunjukkan bahwa penerapan kurikulum 2013 di sistem pendidikan Indonesia ternyata belum mampu meningkatkan mutu pendidikan secara signifikan. Penulis berasumsi bahwa ini terjadi karena tidak semua guru mau dan mampu menerapkan kurtilas ini. Terlebih lagi kompetensi guru di Indoesia masih belum merata. Banyak diantara mereka pada prakteknya ternyata masih menerapkan pengajaran dengan cara-cara lama; ceramah, teacher center, minim media pembelajaran, kaku, dan pola-pola kuno lainnya sehingga mereka tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan. Apapun kurikulumnya.

Melihat kenyataan dilapangan seperti itu tampaknya penulis agak ragu apakah kurikulum merdeka ini bisa berhasil

Menurut penulis setidaknya ada beberapa hal yang perlu lihat terlebih dahulu sebelum melakukan pembaharuan kurikulum. Diantaranya:

Pertama, lakukan peningkatan kompetensi terlebih dulu kepada para guru. Meskipun banyak sekali program pemerintah dalam rangka peningkatan kompetensi guru semisal sertifikasi guru, guru penggerak, guru pembelajar dll namun kalau kita melihat rasio keikutsertaannya, ternyata masih sedikit guru yang terlibat. Hal ini bisa saja terjadi karena kuota yang ada masih terbatas  keterbatasan fasilitas atau memang guru sulit mengakses informasi terkait program-program tersebut.

Kedua, tingkatkan fasilitas pendukung pembelajaran. Semisal ruang kelas nyaman dan layak untuk kegiatan pembelajaran. Hal ini memang sudah dilakukan oleh pemerintah, namun di banyak daerah faktanya masih terjadi kesenjangan. Sekolah-sekolah yang berada di wilayah perkotaan umumnya lebih 'mentereng' dibanding dengan sekolah yang ada di pedesaan. Penulis pernah mendapati cerita dari seorang teman guru yang bertugas di salah satu SMP Negeri yang ada di kabupaten Lebak provinsi Banten. Ia bercerita bagaimana ruang kelasnya tidak ada colokan listrik. Bahkan infokus pun baru ada setahun terakhir ini. Padahal sekolah itu telah berdiri sejak lama. Tentu hal ini menjadi sebuah potret yang menyedihkan.

Ketiga, sejahterakan para guru. Meskipun saat ini pemerintah telah melakukan perekrutan guru PPPK secara besar-besaran, namun faktanya, tidak semua guru dapat direkrut secara menyeluruh. Dan saat ini perekrutannya baru sampai pada ke sekolah-sekolah negeri saja. Bagaimana dengan sekolah swasta? Terutama sekolah swasta yang berada di daerah-daerah yang belum memiliki kemampuan finansial kuat.  Bagaimana dengan nasib guru-guru di sekolah ini? Berapa upah yang mereka terima? Apakah ada perekrutan PPPK atau sejenisnya bagi mereka yang bertugas di sekolah ini? Banyak diantara mereka masih menerima upah dibawah UMR. Padahal secara tugas dan fungsi tidak ada perbedaan bagi seorang guru dengan status apapun. Secara jumlah pun sekolah swasta semacam ini lebih banyak dibanding dengan sekolah milik pemerintah.  

Dari paparan argumentasi di atas, maka penulis beranggapan kiranya pemerintah perlu memikirkan hal-hal semacam itu disamping kurikulum baru ini tetap digalakkan. Kurikulum baru ini akan sukses diimplementasikan kalau diikuti dengan perbaikan aspek-aspek di atas. Terlebih pak Menteri telah menyampaikan kurikulum ini tidak begitu berbeda dengan kurikulum sebelumnya dan bahkan kurikulum ini lebih ringkas, sederhana, serta lebih fleksibel. Semoga saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun